Langsung ke konten utama

Obrolan Tua

Lingkungan tempat di mana aku bertumbuh yang membentuk aku menjadi, bagaimana aku saat ini, walau pertanyaan “Siapa aku?” masih merupakan suatu misteri yang (mungkin baru) akan terkuak di ujung jalan kehidupan seorang manusia.

Kalau kamu tahu aku, bagaimana saat aku dalam kegiatan sehari-hari, dalam perkuliahan saat ini khususnya maupun dalam kehidupan di rumah atau bangku sekolah tempo dulu, aku yah seperti saat ini yang kamu lihat dan rasakan.
Sebagai anak perempuan paling kecil dalam satu angkatan yang sama, dalam era orde lama gaya Soekarno, aku adalah yang termuda, yang dimanja tapi sekaligus menjadi anak perempuan yang paling keras dididik. Maksudku, untuk ukuran anak perempuan 7 tahun, aku harus mempunyai pikiran minimal seperti anak 9 tahun. Aku harus bisa mandiri dan menjaga sikap. Bagaimana cara aku berinteraksi, itu yang disorot.
Bagaimana tidak?! Teman sepermainanku yah kakak-kakak sepupuku yang usianya jauh diatas aku. Disaat teman di sekolah belum tahu apa itu jalan ke mall, punya pacar, atau mendapat menstruasi pertama, aku sudah tahu. Disaat mereka masih saja berdiam diri di rumah, les piano, les balet, atau les seperti itu, selalu diantar oleh mama mereka, aku sudah melanglang buana sendiri di jalan dengan sepedaku. Atau ketika mereka baru belajar mengendarai sepeda, aku bahkan sudah lebih dulu menekan starter pertamaku untuk mengendarai sepeda motor.
Dan aku seolah dipaksa untuk berpikir lebih tua dari usiaku. Bagaimana aku bersikap, berkata, berpikir, berinteraksi. Oh yah, sudah kukatakan sebelumnya.
Ketika duduk di bangku sekolah dasar dulu, aku terbiasa ‘ngobrol’ dengan guruku, sejak kelas satu SD, aku tidak malu, mereka tidak pernah mengatakan aku kekanak-kanakan, karena aku memang masih anak-anak. Saat kelas empat SD, guruku di kelas seperti teman bermain, ketika kelas enam SD, guruku seperti teman curhat, bahkan aku dipanggilnya dengan nama khas, ‘Tenny’, karena kesulitan mengeja namaku, maklum namaku memang agak asing saat itu untuk lidah orang Indonesia (tapi aku adalah warga negara Indonesia, juga!)
Sewaktu SMP, guruku benar-benar seperti temanku saja. Curhat tentang masalah ini itu, atau bicara tentang artis mana dan sinetron yang sedang naik daun, menyanyikan lagu-lagu zaman itu bersama. Mereka tidak merasa bahwa aku adalah anak kecil. Aku senang bagaimana sebuah hubungan komunikasi bisa terjalin baik antara seorang guru, yang dianggap superior, dengan murid SMP yang masih dianggap ingusan. Aku menikmatinya.
Ketika SMA, guru itu bukan lagi sekedar teman sepermainan, mereka benar-benar menjadi teman diskusi tentang hal-hal yang berada di luar pelajaran sekalipun. Entah, apa aku memang tertarik dengan dunia politik, dunia pendidikan yang carut marut (menurut aku), tentang dunia religi sekalipun, aku mendiskusikannya dengan guruku saat itu.
Dan sekarang, ketika memasuki dunia kuliah, bukan karena aku berlaku demikian pula untuk sekedar ‘mencari muka’ untuk mendapat nilai yang bagus. Bagiku nilai itu tentang sportifitas dan memang objektif. Apa yang diusahakan, itulah hasilnya. Tapi karena memang sudah terbiasa (mungkin) berinteraksi dengan orang-orang yang umurnya jauh lebih tua, mungkin karena aku merasa diterima dan tidak dianggap sekedar seorang mahasiswi yang hanya mencoba perhatian dosennya.
Entah, mungkin karena faktor keluarga juga. Dari dulu mama selalu bilang, “Kalau ada apa-apa di sekolah, cerita yah.” Dan itu jadi kebiasaan obrolan aku dengan mama.
“Ma, tadi guru aku...”
“Ma, di sekolah teman-temannya...”
“Ma, tadi di jalan...”
Juga sama daddy-ku saat ini, di tingkat universitas saat ini, saat putrinya menjadi seorang mahasiswi yang harus merantau di daerah Depok ini.
“Daddy, apa aku ikut kegiatan itu yah?”
“Daddy, aku ditawarin ini, aku ambil nggak?”
“Daddy, ada beasiswa ini...”
“Daddy, pelajaran ini...”
“Daddy, dosen ini aku suka, dosen itu begitu...”
“Daddy, teman-teman di kampus...”
Dan ‘pretelan-pretelan’ kecil lainnya yang seringkali aku ceritakan, entah pada mama, papa, daddy, atau ibu-ku. Selama mereka mempunyai waktu untuk mendengar, aku akan cerita.
Tapi tiap kali cerita, selalu dituntut sebuah etika berbicara.
“MA!” teriakku heboh kalau mau memulai cerita.
“Ayo, ngomongnya jangan kaya anak kecil, kamu kan udah gede.”
Mungkin, karena memang sudah terbiasa bersikap dengan orang-orang tua seperti itu, aku merasa bahwa mereka yang lebih tua dari aku, entah itu dosen, guru, atau sekedar petugas di sekolah atau kampus, yah seperti itu juga aku perlakukan. Cerita lepas tapi dalam koridor kesadaran bahwa bagaimana pun akrabnya, mereka tetap orang yang lebih tua yang memang perlu (sedikit) lebih dihormati, seberapapun menyebalkannya. Kalau nggak nyebelin, santai, dan nggak terlalu menuntut suatu aturan ketat dalam berinteraksi, malah akan mendapat lebih banyak respect daripada orang yang menuntut diri untuk dihormati dalam kesombongannya bahwa, “Saya senior di sini.”
Ah, begitulah kisah bagaimana sebenar-benarnya yang menjadi latar belakang suatu ‘kedewasaan’ dalam menjalin suatu hubungan komunikasi dengan orang yang lebih tua.

Akhir kata,

ADIOS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber

Lagu Penuntun Malam (yang Dingin) #4

Malem ini dingin banget dan saya kedinginan, bukan maksud ambigu yang lain loh, cuma emang tubuh menggigil. Mungkin karena hujan terus sepanjang hari, mungkin juga karena tubuh yang lagi nggak fit. Bukti kedinginan ( lebay ): Udah pake syal, selimut, sweater ... dan oh, kaos kaki juga. Tapi di malam yang dingin ini ditemani lagu-lagu yang sedikit banyak menghibur. You’ll Be in My Heart-Phill Collins ost. Tarzan (Disney) Come stop your crying It will be all right Just take my hand Hold it tight I will protect you from all around you I will be here Don't you cry For one so small, you seem so strong My arms will hold you, keep you safe and warm This bond between us Can't be broken I will be here Don't you cry 'Cause you'll be in my heart Yes, you'll be in my heart From this day on Now and forever more You'll be in my heart No matter what they say You'll be here in my heart, always Why can't they understand the wa

Email from Eric Charles : How To Make That Guy Commit

Hi Mule, Eric Charles here. Women ask me this question over and over again: How do I get him to call me his girlfriend? - or - How do I get him to become official or exclusive with me? - or - How do I get him to say he's in a relationship with me on Facebook? Maybe you're already in an "official" relationship,  but I would still urge you to keep reading because the  trick  I'm about to reveal applies to all relationships at any stage. In many cases, a woman asks me one of those "how do I  get a title / relationship status" question after  weeks or months of waiting for the guy to commit to  her in some way. Things started out fine and progressed into seeing  each other steadily and regularly. But for whatever  reason, despite the frequent visits, sleepovers,  dates, texts, etc.  he says he doesn't want a relationship. (Or for some, he says he's not ready for some next  step... moving in, marriage, etc.) There's a truth about people - men and