Langsung ke konten utama

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu.

Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos.
Pemeriksaan. Cek list, pass...

Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah berteriak dengan semangat, “Udah telat dek! Lari! Lari!”

Akhirnya, aku memaksakan diri untuk lari sementara dua temanku yang lain telah lebih dulu sampai dan berbaris di fakultas yang berbeda denganku dan Mrs. Muscle. Mrs. Rainbow memasuki barisan anak-anak teknik sementara aku dan Mrs. Muscle berbaris di barisan ilmu murni. Jadi kami berpisah dan aku mesti berlari menyusul langkah teman-temanku.

Barisan sudah tampak sepi dan kakak senior penjaga absen terus meneriakkan kata “AYO!” dan “LARI!”
Awalnya, aku semangat. Aku mengejar Mrs. Muscle yang sudah menandatangani absensi. Tiba-tiba, dadaku sesak, batuk-batuk nggak keruan kaya orang TBC. Aku langsung menghentikan langkah. Tapi yang kudengar malah teriakan yang bilang, “Cepet tanda tangan! Udah telat kamu!”

UHUK, UHUK, uek

Dengan menutup mulut menggunakan kain tebal yang memang biasa aku bawa, dengan dada sesak dan nafas tersenggal-senggal sambil memegang meja absen dengan tangan yang bebas, akhirnya aku mencapai meja absensi dan segera menandatangani dengan tidak karuan.
UHUK, UHUK

Kakak, apakah kamu tidak melihat betapa sesaknya dada ini kak? Bukan gara semangat yang bergelora, tapi karena aku sesak nafas karena lari-lari.

“Kamu nggak apa-apa dek?” seorang tim medis datang menghampiri aku yang sudah terduduk tak berdaya di trotoar balairung.

“Saya...heng...sesak nafas...heng, kak,” sambil menutup mulut untuk mulai batuk kembali.

Kakak itu langsung sigap memasangkan sebuah pita cantik berwarna hijau di lengan kanan bajuku yang berwarna putih sehingga kontras terlihat perbedaannya.

“Oke, kamu pake ini aja. Udah nggak apa-apa?” tanyanya lagi untuk memastikan.

Aku mengatur nafas sampai yakin keadaanku kembali baik. Mrs. Muscle hanya memandang dengan khawatir sebab dia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Setelah aku menguatkan diri dan keadaan kembali normal, kami masuk barisan yang masih padat, untuk penyerahan tugas dan buku sumbangan, aku pun masuk balairung dan duduk dibarisan terdepan. Sejuk, dekat pendingin yang membuat aku mengantuk. Rasa sesak tadi langsung terlupakan yang hanya menjadi bahan lelucon beberapa jam kemudian oleh Mrs. Muscle, aku, teman yang lain.

Keesokan harinya adalah hari kedua OKK. Kali ini aku bangun lebih awal sehingga menghindari telat. Aku dan teman-teman berjalan lebih santai karena waktu yang tidak terlalu mepet.

“Ayo dek, jangan jalan, lari!” teriak kakak senior di ujung jalan di atas trotoar lingkup wilayah FIB.

Aku dan ketiga temanku berlari menyusuri trotoar yang sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dari sang kakak berada, kira-kira 20meter. Baru saja aku berlari di paling depan sekarang aku malahan tertinggal di bagian paling belakang sambil ngos-ngosan. Sulit sekali saat itu menarik nafas dan menghembuskannya. Sesak sekali sampai aku harus berhenti untuk mengatur nafasku kembali. Teman-temanku yang menunggu untuk menolongku malah diteriaki oleh kakaknya, “Udah, jangan diliatin. Jalan terus, jangan nunggu di sana!” perintahnya tegas.

Salah seorang kakak yang termasuk tim medis langsung datang menghampiri dan pita cantik hijau-ku kini berubah warna menjadi kuning. Siaga!

Aku melewati portal pemeriksaan dan harus menyusuri jalan panjang antara FIB dan FISIP. Teman-temanku telah menunggu di sana. Aku berjalan perlahan untuk menarik nafas, lumayan reda sesak nafas yang baru kali ini aku alami. Waduh, aku sendiri kaget, apaan sih nih?!

Penyakit yang nggak keren dan nggak elit!

Penyakit yang bikin muka jelek gara-gara memerah kalau lagi kambuh!

Kejadian ini bertepatan ketika ospek pada awal-awal aku menjadi mahasiswa. Ugh, nggak cool!

Jadinya, aku sebel. Sebel sama si “sesak nafas” itu. Soalnya, datengnya tiba-tiba dan disaat yang nggak tepat.
Lalu aku berjalan perlahan sementara dua temanku berjalan bersamaku dan seorang lainnya sudah duluan sebab dipaksa kakaknya untuk demikian.

Jadilah aku berjalan sambil terbatuk-batuk.

Uhuk, uhuk, uhuk, uek.

Itu hal yang menyebalkan banget sampai aku harus duduk di tepi jalan di atas trotoar sambil dilihat oleh kedua temanku yang jadi panik dan salah tingkah menghadapi keruwetan nafasku ini. Seorang kakak hanya melihat semua kejadian ini dan hanya bilang, “Kalau nggak kuat ke medis aja. Tuh yang di depan portal tadi.”

Padahal jarak ke portal tadi jauh dan kakak senior tersayang hanya bisa menatap diam dan masih menyoraki beberapa orang yang melewati kami supaya lari. Kakakku memang hebat!

Karena terlalu kangennya sama kakak sampai aku nggak mau melihat mukanya yang datar dan nggak memberi respon apa-apa jadinya aku memaksakan diri untuk berjalan. Yang penting nggak liat muka sang kakak. Kami akhirnya tidak peduli pada teriakan kakak senior selanjutnya.

“Saya sakit kak,” kataku lesu. Nggak lihat wajahku udah pucat, setengah hidup berjuang untuk bisa nafas,
masih mending bisa jalan!

“Yah udah, dua temen lainnya yang sehat, jangan lambat-lambat, lari!”

Akhirnya, dengan kelembutan sang kakak yang berperasaan seperti kapas itu, aku ditinggal sendiri oleh kedua temanku dan dibiarkan berjalan pelan-pelan sendiri seperti manula sakit pinggang.

Ya, ampun deh nih.

Akhirnya, akhirnya, aku berhasil sampai di post absen kemarin dan masih banyak orang berbaris menunggu giliran. Aku bisa lega sampai akhirnya giliran aku tanda tangan dan teman-temanku sudah masuk duluan. Aku akhirnya bertemu temanku yang lain dan kami akhirnya duduk dibelakang.

Pada akhir acara, para penderita berpita kuning dan merah disuruh diluar pintu balairung lalu pintu ditutup. Kami hanya bisa melihat bahwa ada simulasi demonstrasi di dalam dan beberapa orang, baik pria maupun wanita digotong keluar dalam kondisi pingsan. Wah, seram. Ternyata di dalam desak-desakan. Waduh, seru sih, tapi itu kalau aku dalam kondisi prima, kondisi yang memungkinkan. Jadi sebal karena aku ketinggalan satu bagian yang menurutku menyenangkan. Jadilah aku hanya penonton yang tidak bisa melihat apa yang didalam, hanya menerka apa yang mereka lakukan dari teriakan-teriakan para MABA maupun senior.

Ospek selanjutnya yaitu tingkat fakultas. Kali ini lebih sulit lagi karena aku harus berjalan dari kos ke fakultas ilmu murni. Jaraknya jauh sekali, jauh, jauh, jauh banget dan untungnya aku dan Mrs. Muscle tidak pernah terlambat.

Hari terakhir PSAF, kegiatan terakhir...

Ini saat evaluasi oleh panel, panitia evaluasi. Suara kencang, bentakan sana sini. Aduh, pusing. Tiba-tiba jantungku berdebar keras. Padahal, aku nggak jantungan. Padahal, kakaknya bukan nyuruh aku untuk maju ke depan podium, bukan ngapa-ngapain, tapi tiba-tiba sesak lagi. Aku Cuma bisa berdiri sambil memejamkan mata dan bilang ke kakak panel yang lewat di depanku.

“Kak, aku sesak nafas,” kataku. Sang kakak melewati begitu saja seolah tidak mendengar. Ampun, kak, saya sakit. Aku berusaha mengatur nafas, tarik hembus panjang dan memejamkan mata lagi.

Sang kakak baru berteriak, “MEDIS!” sambil menunjuk ke arahku. Seorang kakak lainnya yang entah berada di posisi mana berteriak, “Jangan pura-pura sakit yah!”

Ampun, kakak, saya nggak pura-pura sakit. Malahan, buat jalan saat itu akhirnya diseret(dipapah) dua orang menuju BSM yang langsung sejuk dengan AC dan aku duduk selonjoran di dekat meja. Saat itu, bulan puasa. Karena aku tidak puasa, aku diberi minum teh hangat manis. Kuteguk sekali.

Uhuk.

Malah batuk.

Jadi aku memejamkan mata lagi, berusaha mengatur nafas dan berharap rasa sakit di dada segera sembuh. Saat itu, aku ingin sekali jadi orang sehat, jadi orang kuat. Bukan seperti ini! Lagipula, baru kali ini hal seperti ini terjadi. Apa karena lelah? Dua hari PSAF, dua hari tidur 2 jam saja karena harus mengerjakan tugas.

Semoga penyakit tidak keren ini berhenti setelah aku mempunyai waktu untuk istirahat.

Akhirnya(lagi) aku tidur di bagian peristirahatan dan menunggu acara selesai. Tas yang tertinggal di B101 dibawakan oleh seorang temanku yang melihat aku berada di ruang medis.

Mrs. Muscle yang menyusul kemudian menceritakan beberapa kejadian yang terjadi di dalam sana saat aku sedang tidak mengikutinya dan kejadian itu sungguh fenomenal. MABA emosi, MABA menangis, MABA berteriak, panel santai saja, panel akhirnya bubar begitu saja.

Ah...terlewati lagi satu momen yang nggak bisa aku ceritakan pada anakku nanti mengenai ospek fakultas.

Pada hari tambahan ospek, aku menguatkan diri dan berusaha ikut. Hari ini akan diadakan simulasi demonstrasi. Aku berada di tengah, bukan border dan kali ini aku tertawa-tawa riang di tengah kumpulan orang yang berdesakan berusaha membuat lingkaran dan menahan serangan dari luar. Serasa naik tornado yang berputar-putar. Baru kali ini, rasa lelah itu ada namun tidak timbul lagi gejala sakit tidak keren itu.

Hari ospek jurusan...

Hari pertama dibagikan pita-pita penanda kesehatan para MABA.

Tebak aku dapat apa?

Yaiks, aku naik tingat, waspada! Pita merah cantik tersemat di lengan kananku. Warnanya mencolok mata dan terlihat seperti pita lambang pendukung penderita AIDS. Yup, persis sekali!

Malu...

Aku merasa sehat saja. Aku merasa kuat. Tapi, atribut pita ini harus dikenakan tiap acara OPDK yang berlangsung beberapa kali.

Untuk membuktikan aku adalah orang kuat, aku tidak pernah datang ke medis dan tidak megundurkan diri saat evaluasi. Haha, bangga aku jadi ‘si pita merah’ yang kuat.

Tapi semua itu terpatahkan saat hari terakhit OPDK aku harus tidur selama dua jam di medis. Padahal, aku sudah menguatkan diri waktu evaluasi dari berbagai bidang tapi di entah bidang yang keberapa, saat hujan turun dan kami harus berteduh di depan BSM sambil terus dievaluasi, aku berdiri di bagian terbelakang barisan sambil mengelap keringatku yang terus mengucur padahal udaranya sejuk.

Seorang kakak medis menghampiri, “Kamu sakit yah?”

“Iya kak. Kok kakak tahu?” pertanyaan polos.

“Mukamu pucat dek.”

Jadilah aku diungsikan ke medis.

Itulah pengalaman aku mendapatkan pita warna-warni yang tersemat dengan beberapa kali perubahan warna. Semuanya bermakna, semuanya menyenangkan sekaligus menyebalkan.

Setidaknya, walaupun ada bagian seru yang aku lewati, aku masih bisa menceritakan pengalamanku sebagai ‘si penderita’ atau ‘si pita merah, kuning, dan hijau’.

Sekian pengalamanku.

ADIOS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lagu Penuntun Malam (yang Dingin) #4

Malem ini dingin banget dan saya kedinginan, bukan maksud ambigu yang lain loh, cuma emang tubuh menggigil. Mungkin karena hujan terus sepanjang hari, mungkin juga karena tubuh yang lagi nggak fit. Bukti kedinginan ( lebay ): Udah pake syal, selimut, sweater ... dan oh, kaos kaki juga. Tapi di malam yang dingin ini ditemani lagu-lagu yang sedikit banyak menghibur. You’ll Be in My Heart-Phill Collins ost. Tarzan (Disney) Come stop your crying It will be all right Just take my hand Hold it tight I will protect you from all around you I will be here Don't you cry For one so small, you seem so strong My arms will hold you, keep you safe and warm This bond between us Can't be broken I will be here Don't you cry 'Cause you'll be in my heart Yes, you'll be in my heart From this day on Now and forever more You'll be in my heart No matter what they say You'll be here in my heart, always Why can't they understand the wa

Email from Eric Charles : How To Make That Guy Commit

Hi Mule, Eric Charles here. Women ask me this question over and over again: How do I get him to call me his girlfriend? - or - How do I get him to become official or exclusive with me? - or - How do I get him to say he's in a relationship with me on Facebook? Maybe you're already in an "official" relationship,  but I would still urge you to keep reading because the  trick  I'm about to reveal applies to all relationships at any stage. In many cases, a woman asks me one of those "how do I  get a title / relationship status" question after  weeks or months of waiting for the guy to commit to  her in some way. Things started out fine and progressed into seeing  each other steadily and regularly. But for whatever  reason, despite the frequent visits, sleepovers,  dates, texts, etc.  he says he doesn't want a relationship. (Or for some, he says he's not ready for some next  step... moving in, marriage, etc.) There's a truth about people - men and