Langsung ke konten utama

Nilai Kejujuran


Mungkin itu disebabkan karena idealisme. Ya, idealismeku.
Aku ingat bagaimana sewaktu kecil aku diajari kejujuran. Semua nilai moral yang baik seharusnya memang berangkat dari pengajaran dalam keluarga.
Sewaktu amplop yang berisi uang duka untuk dikumpulkan esok hari diberikan padaku, aku lalai sehingga lupa meletakkannya. Alhasil, amplop itu tertukar dengan kepunyaan saudaraku yang lain. Karena jumlahnya yang berbeda dalam amplop putih polos yang sama persis, diberikan oleh orangtua kami masing-masing, akhirnya aku tidak bisa membedakan amplop mana yang milikku.
Mamaku bertanya padaku, mana yang merupakan amplop milikku? Aku tidak bisa menjawab dan hanya menunduk. Setelah ditanya ulang, aku menunjuk asal salah satu amplop. Mamaku bilang, “Kalau memang tidak tahu, lebih baik jawab jujur.” Aku ketakutan setengah mati karena mamaku sangat galak. Ia tidak segan-segan memarahiku dengan nada tinggi dan suaranya yang keras. Akhirnya, aku mengakui. Aku tidak tahu mana amplop yang menjadi milikku. Aku meletakkannya asal dan sepertinya tertukar. Akhirnya, mamaku merobek amplop itu untuk melihat isinya. Setelah masalah ini jelas, mama mengambil amplop baru dan meletakkan uang duka untuk aku bawa besok. Mama tidak memarahi aku setelahnya dan tidak menyuruh aku untuk tidak berbohong lain kali, tapi itu semua menjadi satu pelajaran kejujuran yang sangat mendalam bagiku. Yang aku tahu, kejujuran tidak membuat aku dimarahi. Kejujuran tidak membuat orang marah padaku. Kejujuran akan membawa keuntungan buatku.
Saat aku duduk di kelas tiga sekolah dasar, teman sekelasku bernama Lukas (pria) mendekatiku. Ternyata, dia ingin meminta contekan. Alhasil, kami bekerja sama dalam mengerjakan ujian. Mengapa di sini aku katakan kerja sama? Sebab, ia juga memberikan jawaban pada soal yang tidak ku ketahui. Pada semester pertama di kelas itu, nilaiku keluar. Hasilnya? Aku peringkat 5, Lukas peringkat 6. Apakah menurut kalian itu pencapaian yang bagus? Bagi Lukas iya, bagiku itu kemunduran terbesarku! Aku tidak pernah berada di luar peringkat tiga besar, dan peringkat 5 adalah hal terburuk yang kurasakan saat itu! Mama sedikit kecewa. Ia mengira aku terlalu banyak bermain. Aku menyimpan rahasia ini sendiri. Ternyata, jawaban yang Lukas berikan padaku salah. Aku menyesal, seolah membantu penjahat naik kelas sementara aku sendiri melambat. Sejak saat itu, aku tidak mau memberi contekan pada Lukas, atau pada siapa pun. Betapa mahalnya kejujuran!
Kini, setelah 15 tahun berlalu, sikap kejujuranku berharga 44 dari 100. Miris. Aku baru tahu, betapa mudahnya kejujuran bisa ditukar dengan kecurangan. Atas nama persahabatan, rekan kerja, kepentingan bersama, dan sebagainya, kejujuran sudah dinodai dan disalahartikan. Memang, untuk ujian kali ini, aku kurang belajar dan hanya terpaku pada satu contoh soal, aku kecewa pada diriku sendiri karena tidak berusaha dengan sungguh-sungguh, di sisi lainnya aku sedih karena kejujuranku tidak seberharga itu di mata orang lain.
Lalu aku teringat, dunia ini sudah diserahkan kepada Iblis, menuju pada kemusnahannya. Sementara aku hanyalah seorang penumpang yang malang melintang di sini. Seolah Iblis mengejekku, “Kau tidak suka dengan aturanku? Pergi dari sini! Tetap bertahan pada kesalehanmu hanya membawamu pada pengucilan dan tidak mencapai apapun seperti yang dunia standar-kan.”
Aku hanya tertegun sejenak, kemudian mendekatkan jariku pada papan ketik laptopku untuk menuangkan semua ungkapan hatiku yang bahkan tidak bisa kucurahkan seluruhnya walau hanya pada sepasang telinga yang mau mendengarkan ini. Orang lain menganggap mereka sudah cukup penat dengan masalah mereka masing-masing, jadi kesimpulannya urusi saja urusan pribadi masing-masing. Miris. Dunia dan segala isinya yang menuju pada kebinasaan, mengapa dipertahankan dengan sebegitu hebatnya? Sementara aku, lagi-lagi hanya termenung dan merenung. Mempertahankan nilai yang terlihat nihil, mempertahankan sikap yang terlihat hampa, mempertahankan prinsip yang terlihat tak berharga, tapi itu di dunia, tidak di mata BAPA-ku.
Jadi, ku niatkan diri untuk memperbaiki waktu belajarku. Kurasa itu yang terbaik daripada menyalahkan ketidak-adilan, menyalahkan kondisi, menyalahkan orang lain, apalagi menyahlahkan diriku sendiri. Aku hanya mau berbagi.
Kau tidak pernah rugi karena jujur. Kau rugi ketika menyimpang dari kejujuran padahal hanya satu langkah lagi kejujuranmu membawamu pada garis akhir untuk mencapai keuntungan.

ADIOS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber

Lagu Penuntun Malam (yang Dingin) #4

Malem ini dingin banget dan saya kedinginan, bukan maksud ambigu yang lain loh, cuma emang tubuh menggigil. Mungkin karena hujan terus sepanjang hari, mungkin juga karena tubuh yang lagi nggak fit. Bukti kedinginan ( lebay ): Udah pake syal, selimut, sweater ... dan oh, kaos kaki juga. Tapi di malam yang dingin ini ditemani lagu-lagu yang sedikit banyak menghibur. You’ll Be in My Heart-Phill Collins ost. Tarzan (Disney) Come stop your crying It will be all right Just take my hand Hold it tight I will protect you from all around you I will be here Don't you cry For one so small, you seem so strong My arms will hold you, keep you safe and warm This bond between us Can't be broken I will be here Don't you cry 'Cause you'll be in my heart Yes, you'll be in my heart From this day on Now and forever more You'll be in my heart No matter what they say You'll be here in my heart, always Why can't they understand the wa

Email from Eric Charles : How To Make That Guy Commit

Hi Mule, Eric Charles here. Women ask me this question over and over again: How do I get him to call me his girlfriend? - or - How do I get him to become official or exclusive with me? - or - How do I get him to say he's in a relationship with me on Facebook? Maybe you're already in an "official" relationship,  but I would still urge you to keep reading because the  trick  I'm about to reveal applies to all relationships at any stage. In many cases, a woman asks me one of those "how do I  get a title / relationship status" question after  weeks or months of waiting for the guy to commit to  her in some way. Things started out fine and progressed into seeing  each other steadily and regularly. But for whatever  reason, despite the frequent visits, sleepovers,  dates, texts, etc.  he says he doesn't want a relationship. (Or for some, he says he's not ready for some next  step... moving in, marriage, etc.) There's a truth about people - men and