Langsung ke konten utama

How to Escape

Ini kisah tentang beberapa tahun yang lalu...

Tahun baru mengawali segala hal yang baru. Pergaulan yang baru membuat hidupku juga tidak sama seperti sebelumnya.

Umurku yang memasuki masa pubertas tentu mengalami masalah yang disebut dengan 'cinta'. Hem, kalau tentang cinta pasti penasaran kan?

Begini ceritanya...

Aku baru saja melewati satu semeser di bangku SMA. Sesuatu yang kata orang adalah hal yang menyenangkan, ajang coba-coba di mana rasa ingin tahu-mu terpompa dan adrenalinmu menantang untuk dibuktikan.

Aku-pun merasakan hal yang sama bagaimana situasi saat ini berbeda dengan saat aku masih berlindung secara rapat dibalik kepak ketek ibu-ku.

Saat ini aku baru dapat mengintip dari sana untuk mencari tahu ada apa dibalik pengawasan orangtuaku.


Oke, singkat cerita, semester baru yang akan kujalani ternyata membawaku mengenal sesosok pria, oke, cowok karena mereka maksudku kami, belum layak untuk dianggap dewasa sekalipun kami merasa kami mampu menghadapi apapun padahal NOL BESAR.

Kembali ke cowok tadi, aku mengenalnya, Mr. X dari temanku, Mrs. X yang adalah temannya juga. Jadi temannya temanku saat ini menjadi temanku juga. Singkat cerita, karena aku ingin memperluas pergaulan, keluar dari rasa nyaman dengan duniaku sendiri, aku memberanikan diri untuk menghubunginya dengan mengirim sms menanyakan hal paling umum(basi) yaitu tentang jadwal besok.

Tak disangka, ternyata dibalas. Di sekolah, kami tidak terlalu akrab, tidak terlalu banyak bicara satu sama lain. Aku dengan duniaku, bersama teman-teman cewek, dia dengan dunianya bersama dengan teman-teman cowoknya. Kami mulai akrab, lebih cepat dari yang biasanya karena aku selalu menjaga jarak dengan lawan jenis, oh, lupakan, itu masa lalu yang aneh. Lalu mulai sering sms, rasanya senang, mengobrolkan apapun sampai jam dua pagi, tentunya saat keesokan harinya tidak masuk sekolah.

Dia mulai terbuka, menceritakan banyak hal tentang dirinya, tentang siapa yang dia suka, tentang yang menyukainya, tentang masa lalunya. Banyak hal yang aku tau, dibalik sikap cuek dan kasarnya di sekolah, dia baik. Dia ramah dan setidaknya sikap menyebalkannya membuat aku kangen, hm, perasaannya yang aneh. Tidak, tidak, bukan semacam perasaan naksir seperti yang kau pikirkan. Terlalu rumit untuk dijelaskan karena melibatkan berbagai perasaan emosional yang aku sendiri tak dapat mendefinisikan apalagi mendeskripsikannya.

Lalu hari-hari berlalu, aku terlalu menikmati dunia baruku, terlalu bermain-main. Aku juga mengajaknya, sedikit menjerumuskan pada hal yang tak berguna. Dia anak yang rajin, pintar, tapi aku seperti membawa sedikit pengaruh buruk padanya. Aku rasa, dia mau menunjukkan kalau dia remaja biasa yang juga bisa dan mau bersenang-senang dengan usianya yang selalu ingin tahu dan selalu ingin mencoba.

Well, pada akhir semester itu, nilaiku turun drastis. Orangtuaku bahkan tak menyadari perubahan ini. Mereka terlalu sibuk kurasa. Tapi, tak mengapa. Aku pun tak terlalu memikirkannya apalagi membuatku frustasi. Ugh, jangan sampai.

Dan, di sini permainan kembali dimulai. Seakan aku tak jera setelah kalah bertaruh di permainan judi, aku mencoba peruntunganku lagi. Aku menegaskan, ini hanya perumpaan, bukan aku berjudi sungguhan. Aku tidak terlalu bodoh untuk menghabiskan uangku yang memang sudah sedikit.

Jadi, aku masih berteman dengannya namun ditambahkan lagi dengan pertemanan yang lain, maksudku aku berteman dengan teman cowok-nya yang lain yang adalah gebetan alias cowok yang ditaksir dua teman dekatku sekaligus.

Ini tidak bagus. Yup, bisa kau bayangkan aku dalam posisi di tengah, kanan ataupun kiri salah. Mereka saling perang dingin, hanya melontarkan senyum kaku penuh makna. Oh, yeah. Aku sangat tidak suka hal ini. Kadang aku berpikir, untuk membinasakan saja cowok yang telah meretakkan hubungan pertemanan diantara kami. Oke, bukan dia yang salah. Siapa yang dapat memilih untuk jatuh cinta pada siapa. Tapi, ugh, bisakah kau turunkan karismamu sedikit? Tidak bisa? Baiklah, aku tau itu tidak mungkin. Setidaknya kau bisa mencoba mengupil di depan mereka.

Kembali lagi. Kini aku menjadi merpati pos. Yah, aku setidaknya juga menjadi pohon yang bergoyang atau ikan yang mengikut arus. Pokoknya, aku berada diantara pasangan yang sedang kasmaran.

Biar kuperjelas. Akhirnya, salah satu temanku memilih mundur karen Mr. Y, teman Mr. X teman dekat-ku itu, telah memilih Mrs. Y, sehingga Mrs. X, teman Mr. X, mundur dari pertarungan ini.

Rupanya, Mrs. Y dan Mr. Y terlalu malu untuk kencan berdua, kalau bisa kusebut itu kencan. Aku menjadi penengah, memecah kecanggungan yang ada, kadang mempermalukan diriku sendiri. Kalau aku turun tangan, pengorbananku tidak setengah-setengah. Aku kerja tanpa bayaran. Oke, bayarannya adalah sebuah pertemanan. Cukup adil kurasa.

Kencan ini tidak lebih jalan ke mall, nonton, makan, keliling sebentar, aku tahu pria paling malas diajak berjalan-jalan tanpa arah yang jelas, tapi Mr. Y ini berbeda. Tidak banyak mengeluh, meminta, memaksa, memerintah, hanya menurut seperti sapi dicocok hidungnya. Ia selalu memperlakukan perempuan dengan gentle. Kadang membuatku geli. Kami hanyalah murid SMA biasa, namun terlibat dalam perasaan emosional yang luar biasa.

Suatu hari sebuah masalah muncul. Mr. Z sebagai persatuan kelompok WXYZ (kelompok cowok yang semuanya, ehm, jujur, adalah teman-temanku, kalau mereka juga menganggap aku teman), menyatakan rasa sukanya padaku. Karena aku tidak memiliki perasaan yang sama terhadapnya jadi kukatakan dengan tegas lebih baik ia tidak menghabiskan waktu untuk memikirkanku, mengejarku, padahal masih banyak cewek lain yang pantas untuk dilirik, ditaksir, dikejar, dan diterima cintanya. Bukannya aku menyatakan aku tidak pantas, tapi aku tidak mau berbelas kasihan. Aku perempuan yang cukup tegas, kurasa.

Jadi, teman dekatku Mr. X, membuat keadaan kami memburuk. Kami pisah kelas diakhir semester 3, dia dan Mr. Z yang agak melankolis, terus membicarakan diriku. Oh, tidak, aku bukan selebritis yang terlibat skandal. Tapi begitulah adanya. Mr. Z masih belum bisa menerima keputusanku dan dengan sedikit imajinasinya dia menambahkan kerumitan hubungan kami. Ada kesalah-pahaman di sini dan aku menjadi korban tuduhan dari Mr. X, teman dekatku sendiri, bahwa aku telah memberi harapan palsu dan melukai hati Mr. Z. Oh, yang benar saja?! Apa dengan tuduhan itu kau pikir tidak melukai-ku juga? Gara-gara sikap sok heroik Mr. X, dia lebih memilih teman prianya dibanding aku. Kuharap dia tidak homo.

Lalu, keadaan mencapai klimaks ketika hubungan temanku Mrs. Y dan Mr. Y meregang. Keduanya tampak memutuskan interaksi. Pertama, Mr. Y memutuskan komunikasi secara sepihak dan membuat Mrs. Y sedih, kecewa, marah, dan akhirnya putus asa. Oh, dasar kau cowok kurang ajar, pengecut. Darahku pun mendidih mendengar tiap kata Mrs. Y yang merana, melihat air matanya mengalir, siapa yang tahan. Aku temannya dan kau Mr. Y, baik sadar maupun tidak, kau telah melukai perasaan seorang perempuan, memberinya harapan, lalu mematahkannya menjadi dua, membakarnya kembali, hingga lumer dan mencair sehingga sulit untuk mencetak sebuah hati yang baru.

Yang benar saja, jadi di sini, siapa yang jahat? Yang melukai hati, memberi harapan palsu? KALIAN SEMUA, kumpulan cowok-cowok pintar tapi tidak berguna, kalian IDIOT!

Oke, tenang. Aku bisa mengendalikan diri sekarang.

Walaupun demikian, kami para perempuan yang masih bisa berpikiran sehat, memutuskan untuk berdamai. Bukan karena kami lemah, tapi aku sendiri tidak tahan dengan sikap diantara kami yang kaku, seolah tak berujung. Satu kelas (dengan Mr. Y dan Mr. W), tidak saling menyapa, akhirnya seperti tidak saling mengenal. Kalau berbicara hanya jika sangat teramat mendesak dan penting. Kalau tidak, lewat merpati pos kami yaitu Mrs. Z.

Akhirnya hubungan Mrs. Y dan Mrs. X berlangsung normal walau aku masih merasa ada getaran saling curiga karena masa lalu yang sedikit konyol itu.

Well, akhirnya aku berdamai dengan Mr. Z. Dia mengaku salah akan sikapnya, aku juga meminta maaf karena sikapku yang tegas, oke, oke, sikapku yang tak acuh padanya. Mr. Z sudah mencoba menjelaskan kepada Mr. X tentang masalah yang lalu, namun Mr. X tetap saja memvonisku tersangka seolah-olah aku pengidap kanker stadium akhir yang takkan pernah mempunyai harapan hidup. Walau akhirnya aku bisa berbicara dengannya, namun setiap nada kasar yang bersarang di telingaku dari mulut Mr. X terasa menyakitkan hatiku. Aku menghindar sedapatku, agar aku sendiri tidak merubah image yang telah tertata dulu bahwa dia baik. Aku menelaah kembali hubungan kami. Mrs. W, temanku yang lain menasihatiku untuk melupakan apa yang telah terjadi dibelakang dan mengarahkan apa yang didepan. Lebih mudah berbicara daripada melakukannya bukan?

Jadi, aku hanya diam dan mengamati. Hal yang ternyata lebih menyenangkan daripada kau yang menjadi aktornya.

Jadi, setelah melewati gunung, kini kami berada di posisi lembah. Tapi seolah perjalanan yang panjang belum berhenti, masalah timbul lagi. Hidup ini selalu penuh masalah yang harus diselesaikan. Dan aku lebih baik menghadapinya sekarang, atau nanti. Aku tidak bisa kabur. Bukan tak mau, tapi aku terhimpit sekali lagi diantara hubungan dua orang.

Mr. W yang selama ini terlihat tenang dan nyaman, mulai melakukan serangannya. Perlahan tapi pasti, mulai dari status teman meningkat menjadi gebetan. Kali ini aktris paling tenar, Mrs. Y, menjadi sasarannya. Bukan maksudku menghina, ini hanya mendramatisir tulisanku. Aku hanya pengamat yang kadang harus membetulkan beberapa adegan sehingga tak jarang aku terjun langsung ke atas panggung kehidupan para remaja ini.

Jadi, setelah Mr. W menyatakan cintanya, Mrs. Y, yang terlanjur menutup pintu hatinya rapat-rapat karena kasusnya yang dulu, sebaiknya tidak diungkit kembali, menolaknya. Jangan salahkan Mrs. Y, ia hanya belum siap. Kalau mau salahkan, salahkan saja kehampaan, artinya, tidak ada yang perlu dipersalahkan. Mencari kambing hitam tidak lantas menyelesikan masalah.

Setelah sedikit batu dapat tersusun kembali, tanpa sadar, kami semua telah menghancurkannya lagi. Lebih buruk, karena bukan hanya saja atapnya yang terbuka, tapi kami menghancurkan seluruh dinding yang ada dan mulai membangun dinding pertahanan kami masing-masing menjadi dua kubu yang menjadi seteru.

Tapi kali ini, tak ada ratap, tak ada penyesalan atau gairah untuk memperbaikinya. Tenagaku telah terkuras dan aku tidak mau energi ku terbuang sia-sia. Aku mengikuti dahulu kemana angin bertiup. Jadi, kami semua hanya diam. Tak ada senyum, tak ada tegur sapa, tak ada basa-basi sekalipun.



Jadi, bagaimana? Apakah aku masih harus diam saja? Aku muak.

Jadi kuputuskan, semester yang baru, semester akhir dalam kehidupan remaja SMA-ku kalau ternyata aku harus berhadapan kembali dengan Mr. W, X, Y, dan Z, aku tidak mau (mereka semua satu kelas sekarang). Aku yakin aku sanggup, tapi itu menguras banyak tenaga. Aku tidak mau. Jadi aku memilih jalur tenang namun sama berbahayanya. Aku meninggalkan cowok-cowok itu dan bergabung dengan teman-temanku. Aku pindah kelas.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber

Lagu Penuntun Malam (yang Dingin) #4

Malem ini dingin banget dan saya kedinginan, bukan maksud ambigu yang lain loh, cuma emang tubuh menggigil. Mungkin karena hujan terus sepanjang hari, mungkin juga karena tubuh yang lagi nggak fit. Bukti kedinginan ( lebay ): Udah pake syal, selimut, sweater ... dan oh, kaos kaki juga. Tapi di malam yang dingin ini ditemani lagu-lagu yang sedikit banyak menghibur. You’ll Be in My Heart-Phill Collins ost. Tarzan (Disney) Come stop your crying It will be all right Just take my hand Hold it tight I will protect you from all around you I will be here Don't you cry For one so small, you seem so strong My arms will hold you, keep you safe and warm This bond between us Can't be broken I will be here Don't you cry 'Cause you'll be in my heart Yes, you'll be in my heart From this day on Now and forever more You'll be in my heart No matter what they say You'll be here in my heart, always Why can't they understand the wa

Email from Eric Charles : How To Make That Guy Commit

Hi Mule, Eric Charles here. Women ask me this question over and over again: How do I get him to call me his girlfriend? - or - How do I get him to become official or exclusive with me? - or - How do I get him to say he's in a relationship with me on Facebook? Maybe you're already in an "official" relationship,  but I would still urge you to keep reading because the  trick  I'm about to reveal applies to all relationships at any stage. In many cases, a woman asks me one of those "how do I  get a title / relationship status" question after  weeks or months of waiting for the guy to commit to  her in some way. Things started out fine and progressed into seeing  each other steadily and regularly. But for whatever  reason, despite the frequent visits, sleepovers,  dates, texts, etc.  he says he doesn't want a relationship. (Or for some, he says he's not ready for some next  step... moving in, marriage, etc.) There's a truth about people - men and