Langsung ke konten utama

I know for sure

I know for the sure, bahwa dosen yang kali ini baik. Maksudku, kadang package nya aja harus dikemas secara garang karena faktor lingkungan, kondisi cuaca, dan umur.
Kadang profesionalisme itu menuntut kita untuk lebih serius, walau disela nya masih bisa diselipkan guyon dalam bentuk muka datar, nada datar. Karena tingkat humor seseorang akan seimbang dengan tingkat intelejensinya. Semakin pintar, semakin nyaris guyonnya itu tidak mudah dicerna oleh pendengar kaum awam.
“Hah?” respon pendengar. Lalu mulai tersenyum tanpa tahu apa arti dari candaan tersebut. Manut. Biar tetap kesannya menghargai lawan bicara, apalagi kalau dosen yang menentukan lulus tidaknya suatu mata kuliah, ibarat hidup dan mati kita di kampus. Tjakep.
Jadilah aku terdampar pada kursi paling depan, berhadapan langsung dengan dosen yang katanya sih killer. Bisa jadi ini pilihanku juga sih untuk duduk manis tanpa interupsi dari kanan dan kiri yang selonjoran di meja karena kepalanya berat (kaya aku biasanya), atau bergosip ria, atau sekedar mengoleskan lipstick sambil ngaca (kamu uda cantik kakak…).
Nggak deh. Masa-masa itu udah lewat pas sarjana kemarin. Sekarang ganti ke masa dimana nongkrong itu adalah belajar, nongkrong itu ngomong soal kehidupan, nongkrong itu sharing pengalaman, atau nongkrong itu refreshing sekalian modus. Modus dalam artian banyak hal, seperti membangun relasi, memperat tali persaudaraan. Tzah…
Masalahnya bukan soal waktu atau bayar makanan yang mahal (walau nggak selalu harus yang wah). Ini mengenai soal ‘membeli’ kepercayaan. Apa aku pernah bilang bahwa semua orang adalah customer bagiku? (mantan marketing sih…). Sekarang aku udah bilang kan… Haha.
Oke, di malam yang random habis ujian matrikulasi 3 hari berturut-turut dimana masing-masing hari 2 ujian, akhirnya aku menghabiskan waktu di warung pasta bareng Mba Vero dan Mas Meiyer ngomongin masalah pra dan paska nikah serta adat Toraja. Yah, seperti biasa, adat adalah suatu tatanan acara dan tata krama yang ribet dan melibatkan banyak pihak dari segenap kalangan. Jadilah, kisah mengenai adat istiadat menjadi unik dan tetap menjadi pro dan kontra bila dicampurkan dengan agama.
Itulah kira-kira level topic pembicaraanku, nggak lagi soal si anu begitu dan begini (masih sih, jarang aja). Nggak berat kok, santai.
Orang Bandung, santai…
ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...