Langsung ke konten utama

Pemudi di Hutan Belantara (3)

Senja mulai datang kembali. Terdengar samar-samar dari jauh ada suara music dan cahaya yang cukup terang. Asap membumbung ke langit menandakan ada sumber api di sana. Pemudi kemudian berjalan menuju kebisingan tersebut untuk memperingatkan mereka menghentikan kegiatan tersebut karena dapat menarik perhatian musuh, yang saat ini sisa kelompok pembawa pedang. Pemudi yang tidak tahu apakah kumpulan orang tersebut musuh atau kawan, menyamarkan dirinya dengan lumpur di wajah dan lengannya agar warna kulitnya tidak sama dengan aslinya. Rambutnya yang panjang digelung membentuk bantalan dibelakang kepalanya, dan bajunya disamarkan dengan daun-daun lebar agar bahan kulit yang dikenakannya dapat tersembunyi di balik daun tersebut.
Setelah mengintip sejenak dari balik dedaunan yang tinggi dan lebat, pemudi tersebut terpaku dengan seorang pemuda yang berdiri menghadap dirinya. Ketika itu, mata mereka saling bertatapan. Cepat-cepat pemuda tersebut berlari ke arah pemudi tersebut, namun pemudi langsung kabur. karena langkah kaki pemuda lebih lebar dan lebih cepat, pemudi berhasil ditangkap pemuda tersebut.
“Sedang apa kau di sini?” tanya pemuda itu mencengkram kuat lengan pemudi.
“Maaf, saya hanya tersesat.” Mata pemudi menatap pemuda itu dan suaranya bergetar. Bukan karena takut, tapi karena kagum.
“Siapa kau? Mengapa bisa tersesat di sini?” pemuda itu mulai mengendurkan pegangannya.
“Hamba ini hanya seorang bawahan yang disuruh untuk menyeberangi hutan ini, namun hutan ini telah menyesatkan saya. Hingga saya mendengar suara music dan cahaya di tmpt itu dan mendatanginya. Apakah saya mengganggu? Saya hanya ingin lewat saja.”
“Oh, boleh kalau mau lewat silahkan.” Pemuda itu mempersilahkan pemudi tersebut lewat dengan sopan.
“Oh, yah. Aku hanya mengingatkan saja untuk tidak terlalu membuat gaduh dan segera memadamkan api tersebut karena menghasilkan asap. Itu terlalu menarik perhatian,” pemudi mengingatkan sesuai rencana awalnya tadi.
“Terimakasih atas peringatannya. Ngomong-ngomong, bagaimana kau tahu di hutan ini tidak hanya ada kumpulan kami sehingga menarik perhatian?” Pemuda itu tersenyum sambil mendekati pemudi itu. Pemudi mundur perlahan ketika pemuda tersebut mengeluarkan pedang dari balik punggungnya.
“Maksudmu, menarik perhatian kelompok pembawa pedang seperti ini?”
Pemudi langsung menghindar dan lari pada tebasan pedang pertama dari pemuda tersebut. Pemuda langsung mengejar pemudi kembali. Namun penerangan yang minim dan kegesitan pemudi membuat pemuda kehilangan jejaknya. Dalam pencarian yang membuatkan kesal sendiri, pemuda tersebut kemudian kembali ke kumpulannya. Sementara itu, pemudi dapat menarik nafas sejenak di atas dahan pohon yang dipanjatnya, ia ingat bagaimana induk beruang memanjat dahan pohon, untunglah pemudi sempat mempelajarinya sejenak. Ia menunggu dalam diam dan tertidur hingga terbangun esok pagi-nya.

“Aku harus segera melanjutkan perjalanan.” Pemudi itu memanjat turun kembali setelah memastikan keadaan aman.

Bersambung...

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...