Langsung ke konten utama

Malam Melawan Rasa Ingin Tahu


Aku menahan jariku menyentuh huruf-huruf yang terpampang di keyboard ponselku, mematikan layarnya kemudian menjauhkannya dari jangkauanku. Berusaha fokus pada buku teks setebal kitab di hadapanku. Sial! Kenapa juga aku mesti tergoda untuk tahu urusan orang lain.

Masa bodoh, masa bodoh! Batinku berkali-kali memanipulasi otak.

Tapi perasaanku agaknya mendominasi. Memang kadang benar juga, prasangka bisa membuat akal budi hilang-timbul.

Lawan! Lawan! Batinku masih berjuang membawa aku kepada kesadaran.

Katanya aku harus tidak peduli dengan apa yang dia lakukan, dengan siapa, mau bagaimana juga. Katanya kalau aku galau, aku berdoa saja. Pesan-pesan yang diucapkan padaku tempo dulu itu tidak sanggup membuat aku tersadar barang sedetikpun, sebab aku lupa.

Aku mengambil kembali ponselku, membuka aplikasi chat dan ingin, sangat teramat ingin, melontarkan sejuta pertanyaan dari setiap prasangka dan imajinasi yang sudah diintegralkan tanpa pernah tahu kebenaran yang ada.

Aku tutup kembali aplikasi itu, mematikan layar, dan menimbang-nimbang kembali.
Ayolah fokus belajar, sebentar lagi ujian. Jangan pikirkan hal itu. Kalau mau maju, hal kecil jangan jadi batu sandungan.

Haduh, otak dan perasaan tidak selaras. Bagaimana ini?

Aku jadi menanyakan banyak hal dalam kepalaku walau jawaban nihil yang kudapat.
Apakah kesetiaan itu? Aku harus percaya? Apakah aku sudah terlalu bodoh? Terlalu naif? Terlalu sia-sia kah yang kami pertahankan selama menahun? Sesabar apa?

Aduh, lagi-lagi lemak yang menebal di perut dan pipi bisa jadi pemicu aku berprasangka.

Dan aku pasrah. Akal budiku memenangkan pertandingan untuk aku terus belajar hingga tengah malam dan memutuskan tetap berdiam diri. Ke pihak perempuan aku tidak bertanya, ke laki-laki apa lagi. Kalau dalam bisnis, kepercayaan itu perlu. Apakah hidup juga dibisniskan? Dan aku menekan egoku, rasa ingin tahuku yang begitu besar (yang seringkali bisa membahayakan aku sendiri). Kuakhiri dengan menulis post ini. Setidaknya ada sedikit rasa yang tersalurkan walau entah, ketidakjelasan perasaan yang masih campur aduk, aku harap hilang ditelan malam dan berganti semangat baru esok pagi.

ADIOS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...