Langsung ke konten utama

Pemudi di Hutan Belantara (4)

Setelah berjalan terus ke arah utara, terdengar suara erangan pelan dari balik semak-semak. Perlahan pemudi mendekati untuk mencari tahu apa sumber suara tersebut.
“Tolong.” Suara tersebut ternyata dari pemuda yang kemarin mengejarnya itu.
“Jangan bunuh aku,” pinta pemuda itu.
“Apa yang terjadi?” tanya pemudi kaget.
“Sekelompok suku lainnya menyerang kami semalam. Kau benar, kami terlalu mencolok dan menarik perhatian. Ketika aku kembali, kumpulan sudah tercerai-berai. Aku sempat melakukan perlawanan sejenak, namun jumlah mereka terlalu banyak sehingga aku melarikan diri. Beruntung aku masih hidup sekarang. Entah bagaimana nasib lainnya.”
“Jadi memang ada suku lainnya? Apa kau regu pembawa pedang yang bersama dengan regu pembawa panah dan tombak?”
“Panah? Tombak? Aku tidak tahu. Kalau pedang yang kau maksud karena kemarin aku mengeluarkannya, sebenarnya hanya untuk menakutimu saja. Aku tidak bermaksud…maafkan aku.” Pemuda tersebut tampak pasrah.
Setelah berpikir sejenak bahwa pemuda tersebut berkata jujur, pemudi akhirnya memutuskan sesuatu. Tapi sebelumnya, ia harus mengecek kembali.
“Apa aku boleh melihat pedangmu?” Pemuda itu hanya mengarahkan dagunya kepada pedang di sebelah tubuhnya. Pemudi mengecek dengan seksama pedang itu. Memang berbeda dengan kelompok pembawa pedang yang mengejarnya. Pedang itu polos, hanya ada ukiran sulur di ujung pedang di kedua sisinya. Pemudi sempat mengingat, pedang yang dibawa oleh yang mengejarnya memiliki lambang trigonal berwarna merah pada ujung pedang dan pegangannya berwarna merah, bukan hitam seperti yang dipegangnya saat ini.
“Baiklah. Aku akan menolongmu.” Pemudi segera berjalan menjauh.
“Kau menolongku dengan meninggalkan aku?”
Pemudi terus berjalan meninggalkan pemuda yang berteriak lemah di belakangnya.
Dalam waktu setengah jam, pemudi kembali ke tempat pemuda tersebut.
“Sudah kubilang, aku akan menolongmu.” Pemudi mulai membalur luka pemuda dan menutupnya dengan dedaunan lembut. Ia juga menyodorkan biji-bijian dan buah-buahan untuk makanan mereka dan tak lupa setabung air jernih.
“Terimakasih, sudah menolongku. Kenapa?”
“Kau memohonnya,” kata pemudi agak angkuh. Pemuda hanya tersenyum lemah. Seandainya yang tadi datang mendekat bukan pemudi ini, bisa saja ia dibunuh. Teriakan minta tolongnya bisa menjadi celaka, tapi yang ia terima benar-benar pertolongan.
“Terimakasih.”
“Apakah kau tahu jalan tercepat melintasi hutan ini?” tanya pemudi pada pemuda keesokan harinya.
“Ya, aku tahu. Suku kami sudah lama tinggal di sini. Tapi sungguh, kami tidak tahu mengapa ada sekelompok orang bar-bar yang menyerang kami. Dan ngomong-ngomong soal pedang, aku baru ingat. Mereka membawa pedang dengan gagang merah dan lambang trigonal pada bagian ujung pedang.”
“Nah, itu dia yang mengejarku.”
“Mengapa mereka mengejarmu?”
“Eh, itu.” Pemudi tidak mungkin mengatakan misi-nya. “Sama seperti mengapa mereka menyerang kalian kurasa.”

Setelah pemuda sembuh dari lukanya selama kurang lebih 7 hari, mereka melanjutkan perjalanan. Pemuda menepati juga janjinya untuk mengantar pemudi pada ujung hutan bagian utara.

Bersambung...

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...