Setelah berjalan terus ke arah utara,
terdengar suara erangan pelan dari balik semak-semak. Perlahan pemudi mendekati
untuk mencari tahu apa sumber suara tersebut.
“Tolong.” Suara tersebut ternyata dari
pemuda yang kemarin mengejarnya itu.
“Jangan bunuh aku,” pinta pemuda itu.
“Apa yang terjadi?” tanya pemudi
kaget.
“Sekelompok suku lainnya menyerang
kami semalam. Kau benar, kami terlalu mencolok dan menarik perhatian. Ketika
aku kembali, kumpulan sudah tercerai-berai. Aku sempat melakukan perlawanan
sejenak, namun jumlah mereka terlalu banyak sehingga aku melarikan diri.
Beruntung aku masih hidup sekarang. Entah bagaimana nasib lainnya.”
“Jadi memang ada suku lainnya? Apa kau
regu pembawa pedang yang bersama dengan regu pembawa panah dan tombak?”
“Panah? Tombak? Aku tidak tahu. Kalau pedang
yang kau maksud karena kemarin aku mengeluarkannya, sebenarnya hanya untuk
menakutimu saja. Aku tidak bermaksud…maafkan aku.” Pemuda tersebut tampak
pasrah.
Setelah berpikir sejenak bahwa pemuda
tersebut berkata jujur, pemudi akhirnya memutuskan sesuatu. Tapi sebelumnya, ia
harus mengecek kembali.
“Apa aku boleh melihat pedangmu?”
Pemuda itu hanya mengarahkan dagunya kepada pedang di sebelah tubuhnya. Pemudi mengecek
dengan seksama pedang itu. Memang berbeda dengan kelompok pembawa pedang yang
mengejarnya. Pedang itu polos, hanya ada ukiran sulur di ujung pedang di kedua
sisinya. Pemudi sempat mengingat, pedang yang dibawa oleh yang mengejarnya
memiliki lambang trigonal berwarna merah pada ujung pedang dan pegangannya
berwarna merah, bukan hitam seperti yang dipegangnya saat ini.
“Baiklah. Aku akan menolongmu.” Pemudi
segera berjalan menjauh.
“Kau menolongku dengan meninggalkan
aku?”
Pemudi terus berjalan meninggalkan
pemuda yang berteriak lemah di belakangnya.
Dalam waktu setengah jam, pemudi
kembali ke tempat pemuda tersebut.
“Sudah kubilang, aku akan menolongmu.”
Pemudi mulai membalur luka pemuda dan menutupnya dengan dedaunan lembut. Ia juga
menyodorkan biji-bijian dan buah-buahan untuk makanan mereka dan tak lupa
setabung air jernih.
“Terimakasih, sudah menolongku. Kenapa?”
“Kau memohonnya,” kata pemudi agak
angkuh. Pemuda hanya tersenyum lemah. Seandainya yang tadi datang mendekat
bukan pemudi ini, bisa saja ia dibunuh. Teriakan minta tolongnya bisa menjadi
celaka, tapi yang ia terima benar-benar pertolongan.
“Terimakasih.”
“Apakah kau tahu jalan tercepat
melintasi hutan ini?” tanya pemudi pada pemuda keesokan harinya.
“Ya, aku tahu. Suku kami sudah lama
tinggal di sini. Tapi sungguh, kami tidak tahu mengapa ada sekelompok orang
bar-bar yang menyerang kami. Dan ngomong-ngomong soal pedang, aku baru ingat. Mereka
membawa pedang dengan gagang merah dan lambang trigonal pada bagian ujung
pedang.”
“Nah, itu dia yang mengejarku.”
“Mengapa mereka mengejarmu?”
“Eh, itu.” Pemudi tidak mungkin
mengatakan misi-nya. “Sama seperti mengapa mereka menyerang kalian kurasa.”
Setelah pemuda sembuh dari lukanya
selama kurang lebih 7 hari, mereka melanjutkan perjalanan. Pemuda menepati juga
janjinya untuk mengantar pemudi pada ujung hutan bagian utara.
Bersambung...
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar