Satu tetes, dua tetes. Ketika tampungan-tampungan pengisian
air terisi penuh oleh air mata, rasa nyeri ini tak kunjung mereda. Entah
bagaimana suatu luka menggores teramat dalam di tempat yang bernama 'hati.'
Bagiku, memilikimu seperti pungguk merindukan bulan. Segala
yang kuidamkan adalah mimpi. Kau mimpi itu. Salah satu hal indah dan gairah
hidup itu adalah momen bersama dirimu. Aku tak tahu, jangan tanyakan aku kapan
cinta ini ada dan bagaimana datangnya.
Seperti angin, kita hanya dapat merasakannya tanpa tahu dari
mana ia datang dan ke mana ia pergi.
Kenapa? Adalah kata tanya yang tak perlu terucap. Satu kata
yang mampu merobek jiwa, membuat rindu jadi sendu.
Ketika jari jemari menuliskan kata demi kata...
Tak mampu jua membawa semua kenangan yang telah lalu.
Aku hampir gila. Tak bisa berpikir lagi. Aku merasa ini
mimpi buruk. Tolong bangunkan aku. Mungkin aku terjerat oleh sang waktu. Aku
hanya perlu bangun dan berharap semua baik-baik saja.
Tapi, memang inilah kenyataan. Aku menemukan hal yang begitu
sulit untuk dimengerti akal, dipikirkan otak.
Sungguh, aku tak lagi dapat berpikir.
Mungkin lebih baik aku kehilangan ingatan, agar tak perlu
lagi sesak di dada.
Atau aku harus menerima, sebuah fakta dan menghadapi ini.
Aku menemukan diriku masih seperti anak kecil. Seolah tak
kuasa menahan dera yang melanda. Ketika tulang-tulang terasa ngilu dan
otot-otot tak lagi bertenaga, seolah tubuh ini tak lagi ada penopangnya.
Aku lemah dan terduduk, atau mungkin tertidur dalam tidur
yang panjang hingga ketika mata ini terbuka lagi, tak ada tangisan, tak ada
lagi rasa sakit di ulu.
Mungkinkah ini semua hanya ilusi? Tapi aku mempercayainya,
bukan dengan otak.
Aku bingung. Aku ingin marah dan berteriak.
Sepoles senyum menghiasi wajah.
Marah pada siapa? Siapa yang patut dipersalahkan?
Aku mendapati tak ada yang bisa dipersalahkan.
Siapa yang kuasa melawan SANG PENGUASA.
Aku terdiam. Tiap kali kelopak mata menutup, berderai air
mata membasahi tilam. Tiap malam sedu sedan saja yang menemani.
Berteriak! Aku berteriak dalam diam.
Menangis! Aku menangis dibalik tawa.
Rapuh! Aku menyembunyikannya dibalik sosok yang kuat.
Semuanya hanya untuk menenangkan.
Salahkah aku? Jadi pembohongkah aku?
Ketika mata-mata seolah tak lagi ingin kubuka...
Lidah yang kelu tak lagi mengeluarkan kata.
Salahkah aku?
Atau aku harus berlari tak peduli? Atau haruskah aku terus
berdiri?
Kukira ini teka-teki, semuanya menjadi geli. Aku tertawa.
Tertawa dalam kebodohan.
Aku mencoba mengerti.
Siapa yang sanggup menahan nyeri?
Ah, kau. Akhirnya tak ada yang kau pahami. Gila! Apa Bumi
ini gila?!
Meledak. Pada siapa dapat diungkap? Satu perasaan yang
terperangkap. Terjerat dan terasa pengap.
Sungguh, air mata dari luka yang menyayat tak bisa
dilupakan. Ada setitik bekas yang jelas.
Masakan akan terulang lagi kecemasan yang t'lah lalu.
Aih. Duri-duri kecil menancap. Sudah dibawa aliran darah.
Mengalir dalam darah. Tolong keluarkan duri itu! Tolong! Agar ini semua dapat
berakhir cepat.
Komentar
Posting Komentar