“Gue pingin
lihat lo nangis.”
Satu statement unik itu terlontar dari bibir
seorang teman yang baru saja mengenalku enam bulan. Baru enam bulan saja kita
saling kenal, saling tahu karena berada di suatu lingkungan dan posisi yang
sama.
Lucu, menurutku
lucu.
Dia itu seorang
pengamat diam-diam. Dia melihatku tertawa, dia melihatku bercanda. Tiap hari
selalu ada senyum. Ketika teman yang lain menangis karena nilai, atau karena
ada suatu kejadian yang membuat mereka sedih lalu mereka menangis.
Dia hanya heran,
dia melihatku tetap diam ketika ada yang menyakiti, ketika nilai terasa
menghimpit. Dia katakan ini dan itu, menceritakan suatu kisah hidupnya yang
menegangkan dan kadang sedih. Tapi aku tetap pada posisiku, diam, lalu
tersenyum.
Dia bingung,
kenapa tak ada air mata pada wajahku. Apa yang dapat membuatku menangis. Dia mencari
cara, mencari cela untuk dapat mencapai tujuannya itu.
Sampai ketika
kita menunggu bus di halte, berdua, dia mengeluarkan statement itu.
“Gue pingin lihat
lo nangis.”
“Kenapa?”
tanyaku. Baru kali ini ada yang meminta hal itu padaku. Bukankah biasanya
ketika seseorang menangis mereka diminta untuk tersenyum, disemangati dengan
mengatakan “Semua akan baik-baik saja.” Walau kenyataan tidaklah demikian.
“Karena gue
belom pernah lihat lo nangis.” Satu alasan sederhana yang masih saja janggal
bagiku.
Aku tertawa
geli.
“Aduh, ada-ada
saja.”
Memori itu nggak
akan pernah aku lupakan. Satu orang, dia yang pertama berkata seperti itu. Aduh,
dia itu.
Dia tak tahu
seberapa keras aku berusaha menahan tangis melihat orang lain menangis. Mencoba
selalu bangkit ketika jatuh dan mencoba tegar ketika dalam kesulitan. Mencoba bertahan
dan belajar dewasa.
Dia tak tahu
seberapa keras ujian yang harus kujalani dan dia tak mengerti seberapa beratnya
kehidupan yang harus dipikul. Dia tak mengerti berkali-kali aku harus ‘menyedot’
kembali linangan air mata itu.
Lagipula, siapa
yang peduli.
Di sore itu,
ketika matahari bersinar terik dan cuaca panas, di sebuah halte saat menunggu
bus, orang itu berkata, “Gue pingin lihat lo nangis.”
Komentar
Posting Komentar