Langsung ke konten utama

Si Merah

Mungkin ini aneh, tapi aku beberapa kali menamakan barang yang aku punya, contohnya Lepy, laptop pertama yang sekarang sudah mati. Kemudian sempat memilik waktu bersama Hepy, laptop pinjaman selama satu semester. Ketika uang sudah cukup terkumpul, barulah Iony hadir menemani hari-hari menulis menjadi cerah kembali.
Benda berikutnya yaitu mengenai si Merah, motor yang sudah menemaniku sejak umur 17 tahun hingga sekarang. Kalau temenku menamakan motor mereka ‘Gerard’ dan ‘Pervita’, aku menamakan ‘Merah’, karena warnanya yang merah dan gantungan kuncinya berwarna merah. Panggilannya juga sudah akrab di telinga karena mama yang mencetuskan ide tersebut lahir. Lebih banyaknya, walau motor ini dipakai secara massal, tapi yang paling sering yah aku.
Merah ini sudah menemani sejak SMA, seperti yang aku katakan sebelumnya. Jadi aku punya KTP dan SIM dulu, baru aku beranikan diri mengendarai Merah menuju SMAN JUPAN tercinta. Banyak kenangan yang dialami. Contohnya, aku pernah kecelakaan sampai engsel bahu kanan itu rasanya sedikit bergeser. Untungnya nggak sampai copot. Waktu itu lagi bonceng tiga, untungnya kepala masih menggunakan helm, jaket dan celana jeans sampai robek, pipi sampai bengkak (artinya semakin besar).
Tapi kecelakaan itu nggak cuma sekali. Pernah waktu isi bensin, aku ditabrak di roda belakang oleh pengendara sepeda motor yang berboncengan, puji Tuhan, mereka yang jatuh, aku tetap berdiri tegak. Aku cuma memandang tanpa rasa bersalah, aku korban disini, aku yang ditabrak, tapi mereka yang jatuh terus marah-marah.
“Hati-hati dong, Mbak!”
Loh, yang nabrak siapa? Yang jatuh siapa? Yang salah siapa?
Terus pernah juga mau puter balik di Samsat sana, ada truk dengan kecepatan tinggi lewat jalur busway, dikit lagi, beberapa senti lagi, tepat moncong truk kuning itu berhenti sampai rem berdecit. Aku nggak tahu apa jadinya tubuhku kalau truk itu nggak berhenti tepat jarak. Thanks GOD, I’m still alive.
Si Merah ini yang paling tahu bagaimana aku melawan jalan yang tidak rata, ngebut, nyalip, dan lagi-lagi hampir tergencet truk gandeng serem banget. Merah yang tahu kalau aku pernah kehujanan di motor, panas-panasan, adu balap sama temen walau kalah di akhir, kabur dari polisi, marah-marah sama orang karena nyebrang sembarangan atau membiarkan anak mereka bertebaran di jalan seenaknya, berantem sama sesama pengguna motor.
Jadi kalau soal kabur begini ceritanya. Waktu di belokan daerah Roxy, kan lampu merah untuk arah lurus. Tapi berhubung aku mau belok, jadi aku sedikit masuk ke atas trotoar dan langsung belok. Tak disangka, pas belokan ada polisi, terus aku di paksa berhenti. Ah, ini mah masalah fulus nih ujung-ujungnya. Karena aku malas mengeluarkan uang untuk hal yang sia-sia, toh aku punya SIM, STNK, spion, lampu depan nyala, helm, dan segala macam perlengkapan komplit, jadi aku tanya ke pak polisinya.
“Salah saya apa, Pak?”
“Minggir-minggir.”
Waktu aku minggir, polisinya kan masih jalan tuh, pas-pasan lagi nggak macet, ya sudah aku kebut tancap gas kabur.
Mamiku, panggilan untuk tanteku, sampai heboh geol-geol duduk di belakang sambil cemas lihat polisinya ngejar atau nggak, terus kan ada lampu merah, kita mau belok ke kanan, tapi si mami ini heboh suruh kabur ke kiri, aku tetap cool.
“Aduh, udah Mami nggak usah teriak-teriak. Anggap aja nggak ada apa-apa. Polisinya nggak bakalan ngejar. Daripada ngejar kita, lebih baik dia nangkep mangsa lain.”
Yah, pokoknya tuh polisi nyebelin abis.
Pernah juga nanya alamat, ceritanya mau ke RS. Ada polisi, ya udah tanya dia. Eh, kesempatan megang-megang bahu sambil nunjuk arah. Oke, kalau begitu cara bapak mencari kesempatan dalam kesempitan, saya juga bisa.
Setelah tersenyum manis dan wajah tak bersalah, karena Jalan Panjang itu kan macet banget, sementara jalur busway lenggang, tancap gas, puter balik, masuk jalur busway. Ketika pengendara lain cuma cengo karena lihat aku terlalu berani tanpa takut ditilang sama polisi (yang sebenarnya tadi udah aku tanyain alamat), mereka tetap bergeming di tempat sementara aku maju terus lancar jaya dan cepat sampai di RS yang dituju.
Begitulah kira-kira pengalaman dengan Merah dan masih banyak lagi perjalanan dengan si Merah. Berhubung motornya sedang dipakai oleh adik, jadi fotonya menyusul yah.


ADIOS.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...