Inget nggak cerita aku tentang aku jaga warung quality time berdua sama adikku, Sarah? Sebenarnya,
ada adikku yang lain, Peter. Waktu itu mereka berdua gemar jajan. Namanya juga
masih remaja (kalau nggak mau dibilang anak-anak), jadi rasa ingin tahunya
besar buat nyicip ini itu, kaya jajanan abang-abang yang cuma tepung goreng
kasih MSG, mie instan dikasih bumbu dihancurin dalam plastik, sampai es krim
seribuan yang gampang banget meleleh. Semuanya dicoba sama dua adikku ini (tiga
sama Jojo).
Waktu aku lihat dan ditawarin, seneng sih. Seneng
karena ditawarin sama adik-adikku yang baik hati ini. Cuma jawaban aku hampir
selalu bilang, “No, thanks.”
Sampai akhirnya muncul suatu pernyataan dari
adikku, Peter.
“Jadi
orang kimia ribet yah, apa-apa nggak boleh.”
Jawabku, “Aku ngelarang makan begituan buat
diriku sendiri. Kalau kalian mau makan, itu pilihan kalian yang jelas itu nggak
sehat.” Aku mewanti-wanti.
Aku tahu, anak-anak ABG seperti ini nggak bisa
dikerasin, nggak bisa terlalu dilarang, kalau nggak malahan dilanggar.
Ternyata, tentang anak kimia yang ‘ribet’ bukan
dari Peter saja, tapi juga dari Zaki, ketua MUN 2013.
Bukan rahasia lagi tentang saling ledek-meledek
antar jurusan tentang bidang masing-masing yang digeluti.
“Anak Matek tuh, mainnya sama cacing integral
terus. Anak Fisika mainnya nge-las mulu. Anak Geo tuh, kerjaannya main batu
aja, nggak bosen apa? Anak Bio kerjanya, ngapain yah?”
“Ah, lo sendiri tuh anak kimia. Mau makan aja
lihat label dulu, dikit-dikit beli barang apa dilihat labelnya, kadarnya, jenis
zat kimianya apa,” balas Zaki nggak kalah sengit.
Aku cekikikan nggak jelas, soalnya bener apa
yang dibilang Zaki. Sekarang, aku bakal ngecek label, tentang kadar lemak,
kandungan gizi, bahan pengawet, pemanis, dan pewarnanya apa.
Tapi tetap,
melihat komposisi dan harga serta kebutuhan, menjadi prioritas pemilihan
barang.
Memang sepertinya, label anak kimia rempong
sudah melekat (agak) kuat yah.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar