Langsung ke konten utama

Life is Simple

“Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.”
Seperti biasa, hari Jumat tiap minggu sebisa mungkin kuusahakan untuk pulang ke Jakarta.Kali ini tujuanku ke rumah daddy. Sesampainya di sana sudah berkumpul lima orang putrinya, ibu, dan daddy. Mereka sedang mendiskusikan sesuatu. Aku hanya terdiam saat itu, belum tahu topik dasarnya itu tentang tema yang mana.
“Baiklah, akan saya jelaskan dari awal kembali karena (sebut namaku) sering datang terlambat jadi nggak enak saya, kamu jadi ketinggalan.” Daddy berdehem sekali, membersihkan tenggorokannya. Well, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, dad.
“Pasti kamu pernah belajar sejarah,” kata Daddy dan aku mengangguk.
“Dalam sejarah, ada tiga jenis pengkhianatan yang dilakukan manusia. Pertama, murid kepada gurunya, seperti Yudas kepada Yesus, kedua, anak kepada ayahnya atau rakyat kepada rajanya, seperti Absalom kepada Daud, ketiga, istri kepada suaminya, seperti Delila kepada Simson. Kalau kamu cermati di sana, tidak ada pengkhianatan yang dilakukan orang yang tingkatannya lebih tinggi pada orang yang lebih rendah daripadanya, tapi orang yang lebih rendah mengkhianati orang yang lebih tinggi dihadapannya.
Kalau suamimu berbuat sesuatu yang tidak benar, ia bukan mengkhianati kamu, tapi ia mengkhianati TUHAN, begitu juga seorang raja, jika ia tidak benar kepada rakyatnya, ia bertanggung jawab kepada TUHAN. Tidak mungkin TUHAN mengkhianati umat-NYA! Maka itu, awal perceraian ketika istri mulai curiga pada suaminya, mulai bertanya-tanya kenapa pulang malam, padahal kalau diam saja, tetap percaya, suaminya akan makin cinta pada istrinya (catatan: suaminya orang benar).”
Aku membelalakan mata dan baru menyadari hal itu. Kemudian pembicaraan dilanjutkan.
“Saya sedang mengangkat Axo (salah satu merk air minum mineral), kemudian hati saya berbicara, ‘Punyamu nggak itu?’ saya jawab sendiri, ‘Iya’, lalu saya berpikir, loh kok saya jawab begitu, tapi tidak ada rasa bersalah. Baru saya mengerti, itu suara TUHAN. Ternyata enak bisa bicara dengan TUHAN. Bukankah ada firman-NYA, ‘Punya-Ku lah Bumi punya-KU lah langit.’ Saya anak-NYA, berarti saya ahli waris-NYA. Berarti Bumi dan segala isinya yah milik saya juga. Milik kamu juga?”
“Ya,” jawab saya akhirnya setelah ditanya dua kali.
"Kalau bukan milik kamu, ketika keluar dari Kerajaan, mau ke mana kamu? Yah dibuang ke neraka karena nggak ada gunanya lagi."
“Tapi,” lanjut Daddy, “Tidak kita akui ini milik kita, memang ini milik kita. Roda tiga, mobil, semua modal yang ada di sini, rumah ini, milik saya, milik kamu, tapi tidak kita akui. Karena saya tahu apa itu kelimpahan, apa itu kekurangan. Menurutmu, apa itu kelimpahan?”
“Lebih dari cukup.”
“Lalu apa itu kekurangan?” Daddy melanjutkan.
“Kurang,” jawabku sambil bertanya-tanya, kemana pembicaraan ini selanjutnya.
“Kelimpahan dan kekurangan itu baru bisa kita mengerti ketika kita merasa cukup. Ada tertulis, ‘Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan dan minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pakaian? ... Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? ... Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.’ Bagian saya sepiring nasi, bagian kamu sepiring nasi, biar punya uang satu miliar sekalipun, bagian saya tetap sepiring nasi. Itu yang harus kita pahami. Karena kalau nggak, kita akan berpikir, ‘Ah, masih kurang uangku, nanti yah, aku nabung dulu baru kubantu deh.’ Atau kita berpikir, ‘Ah, sudah melimpah aku.’ Lalu menjadi sombong. Kalau pikiran itu masih ada, bagaimana bisa berbuat kasih, bagaimana mau memberikan nyawamu sekalipun untuk saudara-saudaramu? Itu yang dilakukan Yesus, bagi-NYA cukup yang ada pada-NYA, sehingga IA bisa memberikan nyawa-NYA ditebus di kayu salib, untuk orang-orang yang dicintai-NYA.”
Aku mengangguk-angguk memahami.
“Jadi, hidup itu sederhana nggak?” tanya Daddy menutup akhir diskusi ini.
“Ya,” jawabku tersenyum.
“Jadi hidup itu sederhana. Cukup, itu aja yang perlu kita semua pahami.”
Senyumku hari itu makin mengembang.
Thanks to our LORD, JESUS CHRIST, WHO teach us how always give thanks for anything, in any unconditional moment, big thanks, FATHER. Now we can learn and understand whatever we achieve, whatever we do, just for HIS glory. Amin.


ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...