Kemarin
baru saja cerita-cerita sama adikku, Sarah, quality
time berdua sambil jaga Padang Belantara Store di jalan Gotong Royong I
(yuk mampir). Kebetulan di samping warung, ada acara ijab kabul, dan baru
pertama kali melihat acara yang demikian. Pernikahan versi berbeda.
Setelah
acara selesai, Sarah melambai pada seseorang di lantai dua rumah tetangga.
“Siapa
itu Sar?” tanyaku.
“Mbak,
dia masih umur 14 tahun loh ci tapi uda jadi pembantu.”
“Kenapa
nggak sekolah aja? Kan sekarang sekolah gratis,” kataku singkat.
“Iya
sih, tapi emang buku sama baju gratis? Uang makan? Transport? Kalau mau ujian? Kalau
mau acara jalan dari sekolah? Kan bayar.”
Jawaban
singkat dari Sarah itu membuat aku terdiam.
Eh,
iya yah, aku yang uda berumur puluhan tahun ini malah berpikiran sempit tentang
biaya sekolah hanya terbatas tentang SPP dan uang gedung, sementara untuk
kebutuhan yang tidak kalah penting selama proses pembelajaran itu sendiri nggak
sampai aku perhitungkan, tapi seorang anak SMP 1 bisa berpikiran lebih luas dan
lebih jauh dengan pertimbangan yang lebih matang, kukira. Aku agak kaget. Mungkinkah
segala keadaan yang kami alami, atau pengalamannya secara pribadi mengubahnya
menjadi lebih dewasa dalam pemikiran? Sementara aku menentang pengemis,
anak-anak jalanan yang tidak sekolah walau semestinya mereka bisa, ternyata hal
itu tidak sesederhana yang aku pikirkan untuk dikritik tanpa melakukan tindakan
nyata yang lebih berguna bagi mereka.
Kejadian
kemarin benar-benar membuat aku
terinspirasi bahwa pemikiran kita dan kritik yang kita lontarkan seharusnya
digodok berkali-kali dengan memikirkan segala kemungkinan yang ada tanpa
pemutusan secara sebelah pihak dengan tidak melihat dari sudut pandang lainnya.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar