Jawaban,
“Terserah” itu merupakan jawaban yang hampir-hampir sama sekali tidak aku
sukai.
“Terserah
kamu.”
“Terserah.”
“Terserah.”
Dan
“Terserah.”
Jawaban
singkat itu mengartikan bahwa kamu malas berpikir, malas untuk bersusah-susah
menemukan jawaban yang tepat dengan segala resiko dan konsekuensi yang harus
ditanggung. Jawaban “Terserah” itu kerap kali terucap sangat cepat dan jelas.
“Kalau
aku, lebih bagus pakai baju ini atau itu?”
“Terserah.”
“Aku
ikut acara itu atau nggak?”
“Terserah.”
“Aku
boleh beli barang yang ini?”
“Terserah.”
“Mau
makan apa?”
“Terserah.”
“Habis
ini mau ngapain?”
“Terserah.”
Jawaban
itu menjadi lebih buruk ketika diucapkan oleh seorang laki-laki. Pasalnya,
kalau laki-laki dipandang sebagai sosok yang tegas dan akan menjadi pemimpin
nantinya, entah itu dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam pemerintahan,
seharusnya ketegasan, cepat tepat tangkas dalam menjawab dan memberi keputusan
adalah hal yang harus dimiliki seorang pria, begitulah kira-kira bayanganku.
Semisalnya
seorang presiden ditanyai menterinya, “Pak, ada penyerangan dari negara A
dengan rudal 123-nya. Apakah kita akan
melawannya dengan roket 789 atau kita adakan perjanjian perdamaian saja?”
“Terserah
sajalah,” jawab Pak Presiden.
Kemudian,
karena menteri itu kemarin baru saja menerima bahwa tim sepakbola negaranya
kalah melawan tim sepakbola negara lawan, maka itu menteri mengambil keputusan
untuk meluncurkan saja roketnya. BUM... seluruh warga yang tidak tahu menahu
akan masalah pribadi menteri dengan tim sepakbola harus ikut menanggung luka.
Ini
salah satu contoh ekstrim, tapi mau menunjukan, dari jawaban dan hal sepele
dapat memberi impact yang sangat
besar.
Entah
ada motif apa bagi orang yang menjawab terserah dengan cepat.
Semisalnya
lagi...
“Eh,
kemarin gue dapet tawaran magang di sini. Menurut lo gimana?” tanya si A.
B
terdiam sejenak, “Menurut gue kan itu jauh, fee-nya
juga nggak sebanding. Tapi kalau magang di sana bisa jadi pengalaman yang bagus
karena itu perusahaan yang bonafit. Terserah
lo-nya aja sih. Itu pertimbangan gue.”
Ini
masih lebih mending sih karena memberi pertimbangan tapi tetap memberi
kebebasan. Setidaknya, jangan jawab satu kata, “Terserah” dalam waktu cepat
tanpa dipikir dulu.
Misalnya
lagi...
“Besok
aku mungkin nggak ikut seminar yang udah kamu daftarin. Nggak apa-apa kan?”
“Terserah
sih...Cuma sayang banget loh, pembicaranya bagus. Tapi kalau memang berhalangan
yah mau gimana lagi.”
Walau
jawaban awalnya “Terserah” tapi disambung dengan alasan dan memberi
pertimbangan lainnya.
Setidaknya,
umpan baliklah ketika ada suatu tanggapan.
Seperti
halnya bermain badminton. Pukulan awal diterima dan dikembalikan, begitu
seterusnya. Begitu umpan tak dapat diterima ada dua hal yang terjadi. Bola out sehingga pihak lawan menerima poin
atau bola in sehingga pihak pemukul
yang mendapat poin. Ketika pemain ditambah menjadi ganda, luas area bermain
bertambah sehingga memperluas gerak jatuh bola. (apasih?!)
Maksudnya
yah ketika ada pemikiran yang dilontarkan dan mendapat respon, hal itu bisa
menjadi diskusi sampai akhirnya argumen mana yang akan diterima. Semakin banyak
pemain akan membuat pemikiran dan sudut pandang lain yang bisa menjadi bahan
pertimbangan.
Yah,
pokoknya, jangan malas berpikir sehingga jawaban yang keluar hanya satu kata, “Terserah.”
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar