“Ga saya kasih izin.” Itulah
kalimat yang membuat saya shock malam
itu. Langsung terbayang di otak saya seperti perkataan mama atau papa ketika
mereka tidak membolehkan saya untuk mengikuti suatu kegiatan, atau tidak
membolehkan saya membeli barang yang saya sukai, dan saya akan menangis.
Letih,
semua orang hidup lelah dengan beban dalam kehidupan mereka masing-masing. Dan tentu
saja, hari itu saya juga, harus berdiri berimpitan dengan beratus-ratus orang
dalam suatu ruangan kecil yang bergerak bernama bus. Panas, gerah, dan saya
tidak suka. Hari itu akan dimulai dengan sebuah tes. Dan semuanya butuh
perjuangan.
Singkat
cerita ketika ujian telah usai dan malam itu ketika harus menerima sebuah
berita, “Anda maju ke tahap berikutnya.” Membuat saya berseru girang, 5 menit. Yah,
hanya sekejap mata saja. Ketika melihat jadwal yang harus saya hadiri besok,
sore, tepat bersamaan dengan jadwal saya maju presentasi, saya harus memilih.
Di
saat itu saya benar-benar berpikir, BBM
dengan 4 orang berbeda, SMS dengan 3 orang yang berbeda, secara bersamaan,
malam itu. Alhasil, saya tidak mengerjakan apa-apa kecuali pada akhirnya
menghubungi pihak-pihak yang sekiranya dapat membantu. Seolah saat itu hopeless tapi tidak hilang akal...
“Doa
dulu, yang tenang.” Seseorang mengingatkan.
“Yah,
saya nggak tahu mesti gimana...” Yang lain berpendapat.
“Jadi
gimana dong?” Yang lain bertanya.
Dan
semua itu makin menambah kebingungan yang menjadi menumpuk di saat yang
bersamaan.
Menangis,
akhirnya adalah sebuah tangisan.
Sampai
bapak kosan yang mengetuk pintu kamar untuk menagih uang kosan cuma bisa
kubalas, “Belom..hiks..pak.”
“Oh,
ya, ya...” Bapak itu berlalu karena mungkin kaget, mendengar isak tangis yang
begitu...
“Itu,
si Mule kenapa?” tanya tetangga kamar samping kanan pada kamar samping kiri. Niatnya
mungkin bisik-bisik, tapi tetap aja kedengaran.
Saat saya bilang saya
menangis, saya benar-benar menangis. Dan emot yang saya kirim
adalah menggambarkan emosi saya saat itu karena saya tahu kita tak bisa tatap
muka dan Anda tak bisa melihat emosi saya secara langsung, emot itulah yang mewakilkan. Tapi saya pasti
dikira sedang berbohong.
Saya
tak suka menangis.
Menangis
itu menyiksa diri. Kalau nangisnya lebay, bisa-bisa mata bengkak 3 hari lebih. Terasa
sakit dan perih, menurunkan penglihatan walau secara kontemporer, tapi itu
mengganggu aktivitas. Saya tidak suka menangis, urat-urat di kepala akan
menonjol dan kepala saya akan terasa sakit. Benar-benar, saya tidak mau
menangis, baik ditunjukan maupun tidak. Besoknya, penampilan akan jelek dengan
mata bengkak dan sembab, dan itu tidak cool.
“Besok
wawancara kan? Yang cantik yah...” seseorang memberi support.
“Mana
bisa cantik dengan mata bengkak kaya gini?!” batinku dalam-dalam.
Sampai
akhirnya seorang teman yang siap sedia mau menggantikan (Thanks a lot) menjadi sebuah solusi saat itu.
Dan
tidak tinggal diam, saya membaca kembali ppt, materi, membuat catatan kecil
yang sekiranya berguna buat presentasi besok dan sekiranya dapat membantu kedua
teman saya itu.
Setelah
mengirim pesan pada seseorang untuk meminta pertimbangan dari pilihan
presentasi maupun interview, satu
kata balasan yang semakin memantapkan saya, “Interview!”
Bagaimana
pun juga saya harus melakukan wawancara itu. Berjuang sejauh ini, ketika ada
suatu kerikil, apakah kita hanya akan memandangi kerikil itu dan berdiam atau
melompatinya, melaluinya?
Keesokan
harinya ketika melihat wajah kedua teman yang tampaknya tetap tenang, bahkan
sempat memberi dukungan, “Semangat!” membuat saya terharu, ini sudah saya
ceritakan berulang-ulang.
Karena
saya tahu, bantuan mereka bukanlah tentang otak mereka, bukanlah tentang
materi, bukanlah tentang yang terlihat seperti itu. Tapi sedikit perhatian,
secuil penyaluran rasa semangat, membuat saya benar-benar merasa, “Aku bisa!”
Kadang, yang kita
perlukan hanya ucapan yang dapat menumbuhkan rasa optimis kembali.
Biarlah
mata bengkak sebelah, keringet-keringet sampai harus berlari-lari, berdiri
berjam-jam, dan semua itu hanya untuk duduk di kursi panas selama 30 menit yang
akan menentukan sesuatu yang lain dari hidup kemudian.
Sore
harinya pun saya mesti menerima sebuah pernyataan kejengkelan. Mau bagaimana
lagi, semua sudah berlalu. Saat itu benar-benar lelah dan haus, tak bisa lagi
melawan atau beradu debat. Ya sudahlah.
Ketika
malam itu diputuskan untuk kembali ke Jakarta karena ada suatu dan lain halnya,
ketika sedang di sebuah tempat perbelanjaan, tiba-tiba orang yang pergi bersama
saya itu bilang, “Jangan suka nangis. Mukamu jelek kalau nangis.”
“Udah
nangis tahu semaleman, nih liat matanya bengkak!” walau sudah menyusut dikit,
udah cantikan dikit, hehe.
“Kemaren
jadinya beneran nangis?”
Rolling eyes. Saya juga nggak suka nangis, itu
terpaksa!
Besok
pagi masih harus bangun pagi-pagi kembali ke Depok kuliah.
Terimakasih
buat seseorang yang namanya tak bisa disebutkan, karena hal demikian terjadi
membuat saya makin kuat dan semakin kuat. Saya tidak marah, tidak membalas
kejengkelan dengan kejengkelan. Bagi saya itu merupakan sebuah ujian, menjadi
pengalaman yang lain bahwa ketika kita menginginkan sesuatu, suatu hal itu yang
harus kita perjuangkan. Semakin serius, seharusnya semakin besar perjuangannya!
Kadang
saya hanya sedikit bingung. Di satu sisi banyak yang mendukung saya, “Semangat
Mule!”, “Pasti bisa!”, “Aku doakan deh!”, “Sukses yah.” Di sisi lain seolah
adalah kubu yang berlawanan dengan hal itu.
Well, mungkin benar bahwa hidup itu
seperti koin dua sisi, yang satu pro dan lainnya kontra.
Sebab itu janganlah
kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan
sehari cukulah untuk sehari.
So, I don’t know what will happen tommorow but I know I have already
done what I have to do today. Special thanks for my LORD JESUS CHRIST, from Your
BIG fans, Your lovely daughter. J
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar