Langsung ke konten utama

Really Give Thanks?

Jadi seorang dosen aku yang mengajari suatu mata kuliah di hari Sabtu semester ini menyelipkan suatu, katakanlah, wejangan. Di salah satu wejangannya itu dia bercerita (sudah diubah ke dalam bahasa pemahaman aku sendiri)
“Jadi, kalau kalian itu seolah diberi hadiah sama Tuhan, tentang kepintaran, keahlian, itu harus dipergunakan, jangan malah disimpan aja, cuma sekedar mengucapkan terimakasih tapi sudah, begitu saja, nggak dipergunakan apa yang sudah diberikan. Misalnya nih, orangtua kalian memberi baju yang bagus sama kalian, terus kalian mengucapkan terimakasih, waktu ditanya suka nggak sama pemberian mereka, kalian bilang suka, tapi nyatanya kalian nggak pernah pakai baju itu dan sebenarnya malah merasa nggak cocok sama kalian. Itu kan nggak mengucap syukur sebenarnya, berarti ucapan terimakasih itu nggak benar-benar tulus.”
Terus aku merenung. Iya juga yah. Pernah aku memberi suatu barang ke seseorang, dia memang bilang terimakasih, tapi barangnya nggak pernah dipakai, bahkan dikasih ke orang lain. Pernah juga ngasih orang barang, tapi nggak pernah ngucapin apa-apa, seolah nggak nerima barang itu.
Terus aku inget, disebuah Buku itu pernah ingetin, kalau ngasih barang atau ngadain acara, jangan undang orang kaya, soalnya nggak dihargai, lagipula mereka bisa membalas apa yang kita lakukan buat mereka, jadi buat apa kita berlaku baik karena mengharap balasan yang baik juga dari orang yang sama. Nggak ada nilainya dong.
Pernah juga di Buku itu dijelaskan tentang perumpamaan tentang talenta. Jadi seorang tuan yang mau pergi nitipin hartanya ke tiga hambanya buat di ‘explore’ supaya mendapat keuntungan, dilipatgandakan gitu. Masing-masing seturut kemampuannya, ada yang lima, dua, dan satu. Yang lima dan dua berhasil menjalankan misi dari tuannya, tapi yang satu malah menyembunyikannya. Ketika tuannya pulang, marahlah ia kepada yang hamba tidak memberi keuntungan, hamba itu disebut pemalas. Sementara dua hamba lainnya dipuji dan diberi tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya.

Kira-kira, begitulah yang saya cerna dari apa yang dosen itu jelaskan, walau saya sangsi apakah bapaknya tahu menahu tentang isi teks di Buku itu, tapi setidaknya Buku ini membenarkan apa yang dikatakan dalam dosen itu.
ADIOS.

Komentar

  1. Kalau ngasih harus ikhlas saja :D, kalau mengharap terima kasih dan penghargaan dari orang lain banayknya hanaya kecewa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...