Langsung ke konten utama

Di MIPA doang, kan?

Terlihat agak aneh melihat dua perbedaan yang sangat bertolak belakang antara dua orang yang saya bayangkan dalam imajinasi saya.
Seorang dari antara mereka memiliki kehidupan yang selalu digembar-gemborkan dengan segala kemewahan, kekayaan, seolah pengalamannya sudah tertimbun banyak seperti gunung, terlihat selalu berpakaian bagus dengan merk untuk kalangan fashionista. Walau saya masih kurang paham, apa itu asli atau bukan, namun di sisi lain dari kehidupannya, keluarganya sebenarnya sedang bersusah payah mati-matian mencari dana untuk keberlangsunan hidup mereka.
Yang lainnya, terlihat sangat sederhana, dengan baju KW seadanya, yang penting layak pakai, makan seadanya, kalau sedang tidak ingin makan beralasan tidak punya uang. Omongannya tentang pengalamannya sedikit, paling-paling hanya seputar obrolan yang mengundang canda tawa belaka. Entahlah, tidak ada kata pamer-pameran dalam hidupnya, walau sebenarnya kehidupannya yang terlihat sederhana itu lebih dari yang tampak, tentang segala pengalaman, perjalanan, dan rasa yang pernah dijalaninya dalam kehidupan itu.
Dua-duanya sekilas seperti ‘penipu’ bagi orang lain. Yang lain tampak positif walaupun isi dalamnya negative, yang lainnya tampak negative walaupun sebenarnya positif.
Tentang kedua hal yang saya bayangkan itu, saya jadi merenung sejenak. Bukan jarang ketika orang itu dikatakan terlihat berantakan, mengenakan kaos oblong, celana jeans seminggu, sepatu kusam, dan rambut agak acak adul, lalu datang ke kampus, oh yah, dengan tas yang juga hampir jebol di bagian bawah, tapi apa peduli? “Sebab yang saya ingin kerjakan di kampus bukan mejeng, yah mau belajar. Yang penting penampilan saya tidak menentang aturan yang membuat orang lain terganggu dengan kehadiran saya. Saya menyadari bahwa hidup dijalani sesederhana mungkin. Bagi saya sepiring nasi untuk hari ini cukup.” Lalu dia tersenyum.
Apa? Ada yah orang seperti itu?! Ketika setiap perempuan dan laki-laki seringkali berpenampilan semenarik mungkin untuk menggaet lawan jenis di kampusnya, dia malah ‘cuek bebek’ seperti itu. Dari hal itu, saya mencontoh beberapa hal. Kalau ada yang komentar tentang penampilan saya kali ini, saya akan menjawab, “Apa? Di MIPA doang, kan? Slow aja.” :D

ADIOS.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...