Langsung ke konten utama

Pelit


Aku tak tahu apakah pelit itu bisa bersifat relatif atau mutlak.
Apa karena tidak sering traktir, tidak sering jalan, tidak sering makan di luar, tidak sering shopping di tempat bergengsi, tidak sering nonton bioskop, tidak sering beli barang-barang karena lagi trend atau berdasarkan merk menjadikan seseorang itu di cap pelit?
Aku tak tahu bagaimana konsep berpikir orang lain dalam mengolah keuangan mereka.
Syukur pada Tuhan karena sebagai anak kos yang dituntut mandiri dimana sistem keuangan aku sendiri yang mengelola, jadi aku juga tahu bagaimana memakai uang, harus mengalokasikan dana untuk apa dulu, apa yang diprioritaskan. Selain itu, bagaimana memenuhi kebutuhan dengan biaya seminimal mungkin, asal terpenuhi saja secara layak.
Contoh, bisa kan makan masakan di rumah, nggak melulu harus jajan di luar. Toh di luar sana belum tentu sehigienis di rumah, siapa yang dapat jamin? Atau bisa loh beli makan yang kenyang namun bersih, nggak harus yang mahal dan enak-enak. Enak kan belum tentu sehat.
Contoh lainnya, nggak perlu kan beli barang karena branded padahal dengan barang model dan fungsi yang sama, ketahanan dan kualitas yang tidak jauh berbeda, walau tak bermerk dan jauh lebih murah bisa kita pilih sebagai barang yang kita beli.
Contoh lagi, bisa kan kita nonton hasil download-an yang situsnya sudah dilegalkan. Selain nggak terpaku pada jadwal tayang sehingga tak perlu juga mengganggu aktivitas lainnya. Lagipula, buat apa sih jadi yang pertama nonton itu duluan, toh kalau lawan bicara kita nggak nonton film itu, gimana kita dapat feedback seru buat bahas film itu.
Contoh selanjutnya, shopingg tentu saja perlu dilakukan sekali-kali ketika kita memang perlu untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Misalnya sayur-mayur atau daging segar, bisa kok beli di pasar tradisional yang harganya bisa ditawar. Walau tempatnya memang kurang bersih tapi harganya jauh lebih murah daripada di market modern. Siapa yang tahu kualitas di pasar modern lebih baik? Terlihat segar karena pengawet, bisa anda tahu?
Itulah pola pikir aku mengenai pengolahan keuangan walau aku tahu bahwa beberapa statement banyak yang tidak setuju dan beberapa lainnya setuju, namun itulah bagaimana aku memandang penggunaan uang berdasarkan pengalamanku sendiri sebagai bendum dalam kepanitian-kepanitian yang ada di kampusku.
Akhir kata, terimakasih telah menyimak sampai akhir. Untuk komentar, kritik, dan saran yang membangun sangat diharapkan.
ADIOS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...