Langsung ke konten utama

“Membuat kopi itu sudah membantu, kok.”


Jadi sore itu aku dateng ke tempat bimbel aku pas SMA, yah bimbel kecil-kecilan lah, nggak terlalu mewah dan se-tenar bimbel-bimbel lain tapi dijamin profesional J
Karena murid belum dateng les, jadi aku duduk dulu. Sembari menunggu, aku ditugaskan oleh pengajar di sana, sebut saja namanya Prof, untuk membuat dua cangkir kopi.
Setelah merebus air, meracik kopi dengan gula, dan menghidangkannya, aku duduk kembali. Melihat kesibukan Prof, aku tergugah untuk membantu mengajar tapi Prof berkata bahwa aku tak bisa mengajar K
Karena sedih aku jadi bilang ke Prof, “Nggak ada yang bisa aku kasih dan bantu di PB ini.” PB adalah singkatan dari Padang Belantara, branded bimbel yang merambah ke multiusaha lainnya.
Dengan tenang Prof menjawab, “Membuat kopi itu sudah membantu, kok.”
Dan aku terpana. Kenapa? Karena ternyata pekerjaan yang sepele dan sekecil itu dihargai di mata Prof itu. Terharu.
Memang nggak banyak yang bisa aku lakukan buat bimbel tempat aku belajar selama satu setengah tahun. Tapi dari bimbel ini aku belajar banyak, bukan melulu tentang akademik tapi juga tentang hidup penuh kasih, persaudaraan, kekeluargaan dan pengertian, tidak mementingkan diri sendiri, bagaimana hidup memiliki nilai dan bermanfaat bagi orang lain, rasa cinta tanah air, menghargai lain suku dan budaya, serta tentang pencarian prinsip hidup secara moral dan spiritual.
Dari sini juga aku belajar bagaimana membuka diri, berbuat sesuatu dengan memperhitungkannya terlebih dahulu, dan benar-benar menjadi seorang perempuan yang benar.
Jadi, kembali lagi dari sebuah ucapan sederhana, “Membuat kopi itu sudah membantu, kok.” Membuat aku menyadari bahwa sekecil apapun usaha yang tulus (aku buat kopinya tulus dong yah? haha) tetap dihargai. Walau kadang melihat orang lain memegang dan melakukan tanggung jawab yang lebih besar dan dalam hati mengatakan, “Enak yah.” Alangkah lebih enak bahwa pekerjaan apapun, sekali lagi, sekecil apapun itu, bisa bermanfaat bagi orang lain.
Dari dua cangkir kopi itu terdapat nilai yang bisa dipelajari yah.
ADIOS.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...