Semua terjadi begitu saja…
Tiba-tiba kenalan berawal dari menanyakan soal, lanjut belajar barsama
sampai nongkrong di kedai kopi. Oh, jadi gini nih kegiatan per FTV-an yang
berlangsung?
Orang itu sederhana. Ada yang unik, tapi susah dijelaskan. Kami terdampar
pada pertokoan elektronik tradisional dan aku tidak bisa menawar. Keribetan
bukan jalan yang mau aku ambil dan alhasil, harusnya harga yang lebih murah
bisa dicapai, kalau saja aku mau sedikit bersabar dan membiarkan orang itu
menawarkan harga untukku atau berjalan ke toko lain. Penyesalan? Buat apa? Kami
menikmati waktu untuk berjalan di bawah terik matahari yang memelototi kami
seolah tidak mau sinarnya tersaingi.
Lalu di sini, pantat kami dimanjakan oleh bantalan sofa tanpa
sandaran yang empuk sementara lidah kami digoyang oleh manis-pahitnya kopi
Vietnam tanpa racun sianida. Beginikah seseorang menikmati waktu dengan
menghabiskan berjam-jam hidup mereka dalam kedai kopi?
Satu-dua-tiga. Aku menghitung dalam hati sambil menunggu, kapan
momen untuk mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari orang yang duduk
dihadapanku. Biarpun sekeliling terdapat banyak orang lalu-lalang, atau hiasan
peninggalan zaman penjajahan Belanda tergantung di dinding dan sebotol bunga asli
segar tertata di tiap meja kayu yang terpampang, tidak bisa mengalihkan
perhatianku dari orang ini. Aku, entah mengapa, ini perkenalan yang singkat,
tapi ada hal yang aku ingin tahu, yang buat aku tersenyum kalau aku tahu. Bukan,
bukan karena pemodusan yang kerap kali dilakukan oleh kaum awam lainnya. Aku
sudah dibiasakan bertindak professional dalam menghadapi klien dalam
perbisnisan, jika benar suatu hubungan dapat dijadikan bisnis.
“Saya pernah membatalkan suatu tawaran bisnis Laundry lantaran
orang tersebut terlambat 10 menit.”
“What? Kenapa?” Dua kata
tanya beruntun yang menunjukkan keingintahuan segera mencuat begitu saja. “Harus
se-strict itu? Tadi aku telat, gimana
dong?”
“Beda-lah dengan bisnis.” Orang itu terlihat santai yang malah
membuat aku menjadi was-was.
“Saya membiasakan diri tidak terikat dengan uang.” Kalimat yang
terlontar dari bibir orang itu membuat aku sedikit, hanya sedikit, tertegun. Di
jaman serba modern, segala hal diukur dengan uang. Baju yang kamu pakai, sepatu
bermerk, tas yang ditenteng, atau sekedar salon mana yang menjadi penata riasmu.
Semua dibandrol dengan price tag dan brand. Orang ini, yang bisa kukatakan
cukup modern, membatasi dirinya untuk tidak menggantungkan hidupnya pada uang. Menarik.
Lalu perjalanan dilanjutkan dengan makan siang random, padahal perut sudah kenyang
dengan tiramisu cheese cake, oreo cheese
cake, dan cookies choco chips. Aku
kenyang. Perjalanan kali ini melelahkan perut karena ia harus bekerja tujuh
kali lebih cepat untuk mengubah sumber energy menjadi energy atau menjadi
timbunan glukogen dalam sel.
“Mau main ke Jakarta? Kerja angkat gallon. 100 galon satu jam?”
“Tidak masuk akal.”
“Tapi itu benar adanya.”
“Bagaimana ceritanya?”
“Tidak bisa diceritakan saat ini. Nantilah, ada waktunya. Lagipula
harus lihat sendiri. Sebelum itu, persiapkan diri dulu.”
“Kenapa persiapkan diri?”
“Hanya satu dari empat orang yang pada akhirnya berhasil stay, meskipun yang satu itu masih tarik
ulur karena ragu.”
“Memangnya saya tipe orang seperti itu? Menurutmu?”
Aku membiarkan otakku berpikir dulu. “Belum tahu. Kita lihat saja
nanti,” jawabku sambil mengangkat bahu. Orang itu kebingungan dan mulai
berasumsi sendiri. Aku yakin 100% asumsinya salah besar.
Aku tahu, setiap kali melakukan penawaran, hal itu seperti
berjudi, atau berdagang, kalau kata-kata ‘judi’ terlalu tabu untuk diucapkan. Semua
harus nothing to lose agar tidak kecewa,
agar selalu ada harapan lagi ketika harapan sebelumnya belum terpenuhi.
Ketika mie-mie panjang itu mengisi usus-usus yang sama panjangnya,
rasa kenyang yang berlebih terjadi.
“Ayo pulang, nanti terlambat ke acara selanjutnya.” Aku menyudahi
pertemuan yang berlangsung empat jam itu. Lain kali aku akan berusaha tidak
terlambat, walau 5 menit sekalipun.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar