Dan semua
kembali pada masa dimana aku dapat kembali bebas berkesperimen tanpa ada
seseorang yang memberikan suatu standar kompetensi. Satu-satunya standar yang
perlu dilalui di instansi ini adalah sistem.
Aku kembali
lagi duduk di bangku kuliah dan kembali melakukan beberapa kekonyolan di
hari-hari pertama aku kuliah.
Jadi hari
pertama diajar oleh sebut saja namanya Pak CB. Pelajaran yang diajarkan
sebenarnya sudah pernah didapat sewaktu semester 4 atau 5 dulu, tapi kali ini
lebih dalam. Dulu pun sebenarnya aku tidak bisa. Sekarang, aku harus berhadapan
pada sesuatu yang aku tidak bisa kembali.
Malam itu,
aku mendengar adikku sedang bercerita dengan kakak mengenai cerita horror di
kampus. Maklum, sebagai pendatang baru, keingintahuanku terpacu buat mengetahui
cerita mistis yang walaupun belum tentu benar, tapi sering kali menjadi bumbu
penyedap dunia perkuliahan ini.
Setelah mendengar
dan sempat nimbrung sekilas dengan kakak-adik itu, aku melanjutkan belajar
kembali.
Keesokannya,
saat Pak CB sedang keluar kelas, mulai lah aku bercerita untuk mengusir
kebosanan dan rasa ngantuk yang mulai menyeruak di udara, ke teman sebangku dan
teman meja belakangku.
Sedang
asik-asiknya bercerita dalam suasana horror dan lebai, Pak CB masuk tanpa tending
aling-aling pengkodean. Sontak, ketika adrenalin sedang terpompa, aku jadi
berteriak secara spontan.
Pak CB,
diam. Lalu berkata, “Untung jantung saya masih kuat. Kaget saya.” Lalu tersenyum
dan jalan kembali tanpa merasa pernah terjadi apa-apa. Kelas yang tadinya
sempat hening, berubah ramai kembali fokus mengerjakan soal. Aku dan tiga
kawanku ini cekikikan karena ulahku ini. Aduh, malu. Alamak…
Sesi ketiga,
dua orang dosen muda mengajar suatu pelajaran yang sewaktu semester 4 dulu juga
pernah kupelajari. Saking semangatnya teman-teman untuk menjawab pertanyaan,
aku malah kelabakan tidak tahu mau menjawab apa. Serasa menjadi level terbodoh
sekelas. Aku dongkol. Aku diam. Kebetulan, aku duduk paling depan (sudah duduk
paling depan tapi masih tidak mengerti, hadeh). Yang ekstrim adalah aku
mendumel ke teman sebangku aku, “Udahlah, belajar sendiri aja di rumah. Ini nggak
bisa kaya gini. Bapaknya ngomong apa deh? Cepat banget!” dengan muka bete dan
udah males banget ngomong dan bener-bener perhatikan bapak dan papan tulis
tanpa mau cari di buku elektronikku (karena berat bawa buku hard-nya).
Tiba-tiba,
bapaknya datang mendekat dan nanya, “Mana yang nggak tahu? Sini saya bantu.” Dan
si Bapak Pram senyum sambil ngajarin. Tapi emang dasar aku yang rada lemot, aku
masih nggak ngerti dan doi mesti ngajar lagi. Jadi aku bete lagi.
“Bapaknya
kok ngajarnya setengah-setengah sih?!” jujur, ini suaraku uda kecil banget dan
suasana kelas berisik. Tapi si bapak, kupingnya panjang banget. Dia datang lagi
dan akhirnya jelasin dengan sabar, tanpa marah, dan detail. Ya ampun, mahasiswi
macam apa aku ini yang marah-marah ke dosennya yang sabar ini. Aku langsung
nggak enak…dan makin nggak enak deh kalau melihat semangat dan keceriaan pak
Pram. Maaf yah pak.
Sekian lah
ceritaku selama 1,5 minggu melaksanakan matrikulasi. Nanti jika ada yang unik,
akan aku share lagi.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar