Entah mengapa anak perempuan itu identik dengan warna pink dan sejenisnya itu yang memberi kesan feminim dan imut. Hal itu tentu saja tak lepas dari mama yang satu ini, yaitu mamaku. Semua-semua barang dibeliin warnanya pink.
Ketika beranjak remaja, akhirnya aku punya warna pilihan sendiri, ungu.
Waktu mama beliin barang yang warnanya pink, lalu aku protes, “Kok warnanya ini? aku suka warna ungu.”
Terus mama bakalan bingung, warna ungu itu warna yang kaya gimana, bukannya warna pink itu ungu. Terbukti ketika selanjutnya membeli barang, mama tetap memilihkan warna pink. Terus aku kasih lihat, “Nih Ma yang warnanya ungu.”
Setelah kejadian itu, mama jadi beliin barang-barang warna ungu dan dengan bangga memberitahukannya, “Mama udah beli dong, warna ungu nih buat kamu.” Aku puas karena sekarang bener, warnanya ungu. Tapi tampaknya ada efek lain dari pemilihan warna-warna ini.
Ternyata mama belajar dengan cepat menjadi, Emak-Emak modis. Sekarang mama yang bakalan komentar kalau aku pakai baju, “Ini nggak cocok sama itu, lebih bagus yang ini, pakai yang itu, ganti yang ini, acaranya sederhana-itu terlalu heboh, ayo dandan dikit, pakai tas ini lebih cocok, sepatunya ini, aduh kamu bedakan dikit dong.” Dan komentar lainnya setiap kali berpakaian, tanpa atau dengan diminta memberi komentar.
Waktu itu aku pernah nanya, “Ma, kenapa nggak pake daster?” pikirku, emak-emak sekarang banyak yang berdaster karena kelebihan berat badan. Mama langsung menjawab, “Pake daster itu nggak seksi, nggak ada bodi. Mama kan kaya anak muda.” Dan aku cuma -___-‘’
Jadi setiap kali kelebihan berat, mama bakalan suruh diet. Pernah waktu itu mau ‘wisuda’ SMA, harus pakai kebaya. Udah nyari susah-susah dapet bawahannya ukuran XL, tetap aja aku nggak muat. See, betapa gemuknya aku. Akhirnya, waktu dua minggu sebelum acara aku harus diet ketat. Sehari makan siang sekali, malemnya cuma dikasih semangkuk kecil sop yang isinya kentang, wortel, kol, udah, nggak pake daging. Selama dua minggu! No variation. Terus karena itu udah liburan, jadi tiga kali seminggu disuruh jogging pagi sendiri keliling komplek. Alhasil, berat 60 kg turun menjadi 52 kg dalam 2 minggu dan hoila, aku muat pake bawahan kebaya. Mama puas.
Entah memang tak bisa menentang kodratnya sebagai perempuan, aku dididik sebagai perempuan.
“Makan yang bener, jangan belecetan, jangan bersuara, jangan sambil main HP.”
“Kalau ada orang tua harus sapa, harus sopan, duduk yang bener, jangan ngangkang. Pakai baju yang bener, jangan berantakan.”
“Bisa cuci sendiri, belajar masak, kalau diajarin harus bisa, ayo belajar jahit.”
Dan sebagainya, sampai aku harus bener-bener jadi seorang perempuan.
Pernah waktu itu mau minta mengendarai motor ke sekolah dari rumah yang jaraknya emang jauh. Hal ini sampai dibawa forum ke keluarga besar. Salah satu om melarang, “Mule itu anak cewek, udah jangan dikasih naik motor, bahaya.” Tapi papa yang cukup demokratis akhirnya membolehkan, tentu saja dia yang memberi keputusan. Mama langsung wanti-wanti, setiap nyampe sekolah harus telepon dan menyatakan sudah sampai dengan selamat.
Sementara cici aku anteng ayem aja dengan derajatnya sebagai perempuan, entah mengapa pada diriku ada sesuatu niat yang bergejolak, sedikit menentang segala ke-feminiman ini. Rasanya gerah kalau hanya duduk, diam, menunggu. I want do something!
Jadi pas kecil ketika masih nomaden di Bekasi, ada pohon mangga di belakang rumah. Tanpa takut dan memikirkan resiko apa-apa, akhirnya aku manjat pohon mangga yang lebat itu. Udah sampai di atas, aku bingung turunnya gimana. Cici aku cuma liatin dari bawah. Aku panik dan aku nangis jejeritan. Mama akhirnya dateng, sempet marah-marah dulu karena akunya bisa ada di atas pohon terus akhirnya papa turun tangan buat nurunin aku pake tangga.
Waktu itu pernah juga mau ikutan klub petualang, kaya wall climbing, caving, diving, ke hutan, dan lain sebagainya. Ketika niat ini baru saja diutarakan, mama sudah membantah keras. Waktu SMP juga ikutan klub basket, mama selalu ingetin, “Nanti kamu capek.”
Waktu itu share juga sama senior dan mengutarakan bahwa aku bersedia kerja di tengah laut di perminyakan dibanding di gedung-gedung perkantoran yang dingin dan monoton itu, bukan karena fee nya lebih besar, tapi karena kerja lapangan itu menyenangkan. Kita dihadapkan pada suatu kasus real dimana teori kadang kala tak sesuai. Dan senior itu, melarang, “Cewek lebih baik kantoran.”
Lagi-lagi, lagi-lagi. Entah, rasanya semakin dibatasi, semakin ingin melewati batas itu.
Tapi pada umur yang beranjak semakin besar ini, aku nggak lagi menentang-nentang kodrat ke-perempuan-an-ku. Ya aku perempuan, kelemah-lembutan dan penguasaan diri itu penting, walau angan-angan untuk travelling like backpackers masih sangat ingin dilakukan dan petualangan ekstrim ke hutan, laut, dan goa tetap sangat ingin dirasakan.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar