Langsung ke konten utama

Ketika Kamu Marah


Mungkin aku akan tutup telinga kalau denger orang marah-marah, pura-pura tak dengar, terlihat seperti orang tuli,atau kuhitung sampai tiga, kalau tidak berhenti, akan aku tinggal.
Bukan karena apa-apa, hanya saja gangguan pada telinga yang sensitivitasnya seperti itu, membuat pekak telinga aku kalau mendengar nada-nada tak keruan, lengkingan tinggi, atau traumatis pada suara-suara keras. Pasalnya pernah ada riwayat ketidaksehatan telinga di rumah sakit.
Tapi entah mengapa, untuk orang yang satu ini, jangankan melihat dia marah langsung, membayangkan dia marah saja, aku sudah sedih. Kukatakan ini jujur dari hati.
Aku ingat bagaimana dia akan berkata dengan desahan kecil dan suaranya yang berat, terdengar kelelahan, “Aku capek Le.”
Peluhnya mengalir dan urat-urat kepalanya akan menonjol dengan jelas ketika ia marah. Mukanya yang sudah lelah, berwarna kecoklatan itu, dengan mata yang sudah sayu, namun tak terlelap...Aku bahkan seperti bisa merasakan bagaimana tekanan hembusan nafasnya selagi dia marah dan aku tidak suka keadaan itu. Itu buat aku sedih.
Dan kata-kata itu, dengan mimik wajah itu, aku bahkan tak tahu harus menjawab apa. Lalu aku akan tersenyum walau otakku berputar cepat, “Apa yang bisa aku perbuat? Apa yang bisa aku lakukan? Ayo berpikir! Ayo BERPIKIR!”
Dan aku sedih ketika memang tak ada yang bisa aku lakukan saat itu juga.
Tapi ada satu jawaban yang sama akan aku dapatkan, berdoa.
Mungkin hal kecil ini seringkali diabaikan, mungkin juga akan banyak yang meragukan hal itu. Bisa apa kuasa doa? Kata-kata dan permohonan kepada siapa?
Tapi aku ingat suatu kalimat, “Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya.”
Jadi itu yang bisa saat ini aku lakukan buat orang itu ya itu, doa. Aku punya TUHAN dan aku tahu kepada siapa aku menyampaikan doaku serta darimana datangnya kuasa itu, dari DIA.
Dan harapan aku setelah itu, aku setidaknya bisa mendengar kabar kalau aku memang tak bisa melihat wajahnya, bahwa ia baik-baik saja, tidak lagi marah, tidak lagi menonjolkan urat-uratnya yang membuat kepalanya sakit, dan ada senyum di wajahnya yang akan menyapaku dengan sapaannya yang khas, “Halo, Mule.”
I miss you so much... J

ADIOS



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...