Oke, pertama harus
mengucap syukur dulu kepada BAPA-ku yang kekasih banget, banget karena aku udah
sampai di Perpus Binus ini dengan selamat.
Setelah terlambat
(lagi) naik bus debora tercintah yang tentu saja Mas Dani lagi-lagi
meninggalkan aku terdampar di halte Gerbatama yang sangat nyaman itu, akhirnya
pilihan naik bus jatuh pada Bus Ekonomi terkeceh, 54 dengan Trayek
Depok-Grogol.
Penampakan dalam bus
berbeda dari bus 54 lainnya yang biasa aku tumpangi, tentu saja menumpang dengan
membayar (passenger with benefit).
Pokoknya lenggang dan kurang nyaman karena tidak ada senderan kepala sehingga
TIDAK BISA TIDUR. Alhasil, sepanjang kampus kuning-Tanjung Barat mataku terjaga
melek-melek karena kursi samping yang kosong. Was-was, siapa tahu om-om
nyebelin tiba-tiba duduk di samping, mending kalau cowok okeh yang duduk di
samping. #ups.
Tiba-tiba suara yang
sangat familiar terdengar memanggil namaku yang asli, “BIPPP!”
“Eh, Bip! Sini duduk
di samping.” Dengan senang hati langsung kugeser duduk sehingga memberi tempat
lapang buat temanku yang sudah lama tak jumpa walau satu kampus beda jurusan.
Jurusannya adalah ‘3 cacing integral’. Lumayan deh ada orang okeh duduk di
samping yang jagain dari preman dan pengamen reseh.
Tentu saja setelah
itu, misiku buat tidur tidak tercapai juga lantaran diajak ngobrol. Lagipula,
karena tidak ada sandaran kepala dan tidak mau sandaran pada kaca jendela yang
begitu (kotor), akhirnya mulailah percakapan.
Pokoknya percakapannya
rahasia. Curhat dari hati dia ke hati dia juga sih. Pokoknya curhat deh karena
memang begitu kalau kita ketemu, kalau nggak berantem, yah curhatan serius
tentang kehidupan. Dia itu mirip kaya orang di jurusanku, yang sering ngajak
berantem padahal itu tanda dia care.
#ngarep
Yang okeh dari
percakapan kali ini setidaknya tidak ada kata-kata, “Lo jomblo yah? Ha....
ketawan yah.”
Pokoknya curhat seru
dan tentang studi kasus kehidupan real.
#secret
Singkat cerita, aku
kan mau turun di TA, kalau dia sebelum TA, terus pas tiba giliran dia yang
harusnya turun, dia nggak turun. Bilangnya sih mau beli otak-otak depan TA,
makanan anak gede jaman sekarang adalah jajanan pinggir jalan, back to SD.
Pas udah turun, dianya
bilang, “Tuh, 91, naik sana!”
“Nggak ah, beli
otak-otak dulu. Mana otak-otaknya?” aku mulai curiga bahwa dia turun di tempat
yang sama kaya aku buat nganterin. Asik! Ngarep tingkat tinggi tapi kali ini
bukan pemodusan, karena kita temen dan dia temen yang keceh.
Akhirnya, kita beli
otak-otak.
“Harganya berapa?”
tanyaku.
“3 ribu,” jawabnya.
“Duitnya 2 ribu nih, 5
ribu buat ongkos. Boleh 2 ribu aja nggak?” pintaku nggak pake melas.
“Sini, gue tambahin
seribu.”
Asik, ditraktir, walau
cuma seribu entah kenapa ketulusannya itu buat jadi bermakna. #lebay.
Setelah beli makan,
aku menuju bus 91 yang sedang nge-tem di sana, dia jalan di belakang mau ke
jembatan penyebrangan ke arah rumah dia.
Setelah itu kisah
dengan dia untuk sementara berakhir dulu di sini.
Lanjut...
Dalam bus 91 yang
menuju kampus Binus yang megah itu, akhirnya sampailah di sana. Sebagai
penduduk asing dalam gedung, aku sih
pede-pede aja alias pasang tampang sok anak Binus. Pokoknya nggak boleh
kelihatan bego, kelihatan bingung, disotoy-sotoy-in deh, terus muka dipastikan
nggak berminyak, rambut nggak lepek, baju nggak lecek.
Karena tempat
nongkrong di sini merupakan ciri khas hedonisme banget, jadilah aku memilih Perpus
Binus yang keceh dan okeh ini. Emang kecintaan pada aroma buku, kayu, dan
segala keheningan yang ada merupakan daya tarik tak terbantahkan. Perpuslah
tempatnya.
Jadilah aku masuk,
dengan suara perlahan menuju ke meja resepsionis, menunggu mahasiswa asli pergi
baru berbisik.
“Mas, saya mau masuk,”
kataku kecil-kecil, melihat ada palang otomatis yang mesti dibuka pake id card
(emang keceh deh).
“Titip tasnya dulu mbak.”
Jadi, aku ke bagian
penitipan tas. “Id card-nya mbak.”
Freze! Aku nggak bisa ngelak lagi. Masa iya aku kasih KTM dan
bilang, “Maaf Mas, saya kesasar. Saya kira ini kampus kuning.”
TET-TOT. Tole tingkat
akut itu mah.
“Saya sebenarnya,
bukan mahasiswa sini Mas,” cengir lebar tebar pesona berharap...
“Oh, mesti bayar 5
ribu Mbak buat nitip.”
Jeng!!! Duit tinggal 3
ribu, 2 ribu uda buat bayar 91 tadi.
“Ya uda nggak usah
bayar Mbak, setengah 8 Perpusnya tutup, nanti Mbak rugi.” Mas-mas bertampang
serius tapi baik hati itu menjawab sendiri.
“Nggak boleh gitu!
Harus bayar! Di sini kan ada peraturannya! Mas nggak ngerti yah peraturan!”
celutuk mbak-mbak yang lagi bersih-bersih loker dan lantai.
“Sssttt, berisik
kamu!” desis Mas-mas bertampang serius berhati baik.
“Aduh, jangan
berantem, kalau nggak boleh ya udah saya di luar aja duduknya. Saya mau nunggu
orang.” Aku sok hero menengahi.
“Udah, nggak apa-apa
mbak,” kata Mas-mas bertampang serius berhati baik
“Ya udah di depan aja
Mbak, tapi nggak ada bangku,” kata mbak-mbak itu.
Terus saya harus duduk
di lantai mbak? Dalam hati ngomong gini. Miris banget mahasiswi sekeceh aku
duduk di lantai kampus asing.
Aduh maaf jadi ribet
panggilannya, aku nggak tahu namanya sih. Lanjut...
“Ya uda, keluarin aja
laptopnya Mbak, nanti kebagian resepsionis,” kata Mas-mas bertampang serius
berhati baik.
Jadi setelah dilihat
Mas-mas bertampang serius berhati baik kalau isi tas adalah toples-toples
kosong khas anak kosan (ketawan nggak yah aku anak kosan?), jadilah aku bawa
dompet, laptop, dan HP ke arah resepsionis.
“Mas, saya tamu dan
saya mau masuk. Saya mau bayar.” Padahal uang tinggal 3 ribu, sok banget deh
ini, udah pasrah aja.
“Hah? Bayar apa mbak?”
Mas penjaga resepsionis kebingungan.
“Ini Mbak nomor
lokernya,” Mas-mas bertampang serius berhati baik menyerahkan kartu nomor 25,
hem, my favorite number!
“Oh...” Mas penjaga
resepsionis mengangguk tanda ngerti.
“Bukain aja pintunya,”
Mas-mas bertampang serius berhati baik memberi aba-aba.
“Oke Mbak, jadi lihat
tanda merah di atas pintu? Begitu warna kuning langsung masuk yah.”
Aku ngangguk-ngangguk
masih lihat kedua mas-mas yang nggak aku kenal tapi udah nolongin aku yang
sedang tersesat di hutan beton ini, terharu.
“Oke, siap!” Aku
langsung masuk.
Kembali pasang tampang
cool seolah anak kampus ini, keluarin
laptop dari sarung, langsung ketik tulisan ini, tentu saja di pojokan,
bener-bener pojokan Perpus sadar diri kalau jadi orang asing di sini.
Bersyukur, dan
bersyukur. Masih ada orang baik. Entah karena kepolosan mukaku, atau karena
mulenya, atau karena emang mirip kaya anak hilang butuh bantuan, aku tertolong!
Terimakasih buat
penjaga Perpus Binus yang keceh (sori nyebut merk karena ini perlu diketahui
oleh pembaca), makasih buat temen ‘3 cacing integral’, makasih specially for my GOD, JESUS CHRIST. I’m save
with YOU, all the time! Yeah!
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar