Sumber : Dokumen Mule |
Ketika hari-hari
berlalu dengan cepatnya, aku mencibir sang Waktu.
“Hei, mengapa
kau terburu-buru begitu. Santailah,” kataku sambil menjentikkan tanganku
kepadanya.
Waktu hanya menoleh
sambil mendengus ke arahku kemudian ia menatap ke depan lagi. “Kau itu tidak
mengerti. Aku sedang dikejar-kejar.”
“Loh, kok Waktu
dikejar? Biasanya kau yang mengejar orang.” Aku melihat Waktu yang siap berlari
lagi. Sekilas, ada asap keluar dari hidungnya.
“Ada banyak hal
yang harus dikerjakan dengan cepat. Ada banyak kejadian yang harus terjadi
dengan singkat.” Kali ini Waktu sudah lebih tenang. Ia melirik sekilas ke
arahku penuh misteri.
“Kau
seenak-enaknya memaju-mundurkan dirimu. Memangnya boleh kau tidak berjalan
normal seperti biasanya?”
Waktu hanya
mengangkat bahu. “Kau tidak mengerti.”
“Memang. Kemari,
jelaskan padaku hal yang tidak kumengerti itu!” perintahku sekenanya.
Waktu lagi-lagi
mencibir. “Dasar bocah manja. Kau belum diijinkan mengerti. Umurmu masih
terlalu muda. Kalau bahasa dari duniamu, kau masih bau kencur. Aku tidak
diijinkan untuk membuat kau menjadi produk karbid-an.”
Aku mendengus
kesal. “Memang. Aku tidak pernah melompat melampaui dirimu yang normal. Aku menyelesaikan
semua pada keadaan yang normal…”
“A, A. Bukan keadaan
normal. Kau menyelesaikannya tepat saatnya. Kau seharusnya bangga.” Waktu
memotong perkataanku, tapi aku tidak mempedulikannya.
Aku melanjutkan kata-kataku
kembali. “Tidak. Aku hidup di dunia yang tidak normal, kurasa. Bagaimana kau bilang aku
menyelesaikannya dengan tepat? Ugh, aku…”
“Karena kau
memang bukan berasal dari sini.”
“Aku Alien
maksudmu? Memangnya Alien itu ada? Kau terlalu sok tahu..!” desisku kesal.
Waktu menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil tersenyum. Aneh, ia tidak terpancing emosi kali ini ketika
kuledek. “Aku sudah melintasi banyak generasi. Aku lahir bersamaan dengan
ketika jagad raya lahir. Umurku dan dirinya sama, sebab lahirnya dia menandakan
permulaan diriku. Jadi, aku bukan sok tahu, Nona Tukang Ngambek. Aku memang
tahu, meskipun tidak segalanya.”
“Jadi, apa kau
mau bilang, sebenarnya sebelum ada kau, sudah ada Sesuatu itu?”
“Tentu saja. DIA
kan Pencipta segalanya. Tugasku membatasi
duniamu, hidup kaummu, dan membuat manusia memprediksi untuk meraih pendekatan
seakurat mungkin dengan kebenaran.”
“Hah! Aku makin
tidak mengerti.” Kupijit kepalaku yang berdenyut. Entah apa yang diucapkan oleh
Waktu, aku merasa ia berbicara seperti orang gila.
“Nah, kan. Nona Manja ini memang belum matang
untuk menerima penjelasanku, bahkan yang paling sederhana.” Waktu menyunggingkan
sebelah bibirnya, bentuk ledekan darinya untukku.
Aku sudah
mengangkat sebelah lenganku untuk memukulnya karena kesal, tapi Waktu bisa
menghindar dengan cekatan sehingga aku hanya memukul udara kosong. “Kau bisa
menghindar secepat itu?!” Aku takjub.
“Bahkan aku bisa
tahu dua atau tiga detik ke depan langkah apa yang akan kau jalani.”
“Dan mengetahui
kapan kematianku juga?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Sayangnya
tidak, Nona Ingin Tahu. Pencipta memberikan kekuatan spesial bagiku, tapi itu
pun terbatas.”
“Oh, tidak. Kenalkan
aku pada Penciptamu!” perintahku lagi.
Waktu melotot ke
arahku sambil mengangakan mulutnya. “Kau pasti bercanda, Nona Tukang Canda. Kau
mengenalNya.”
“Oh, siapa? Berikan
aku petunjuk. Mungkin aku bisa menebaknya.”
Waktu menggelengkan
kepalanya. “Tidak, kau mengenalnya. Memang kau tidak tahu?”
“Siapa?” tanyaku
dengan mimik serius. Setelah Waktu melihat aku serius, ia menghela nafasnya.
“Kau lupa. Kau pasti
hanya lupa. Maafkan aku karena terlalu panjang mengikutimu hingga membuatmu
lupa. Kau sedang dalam misi sehingga memorimu tentangNya hanya disisakan
sedikit. Kau harus mencari kepingan-kepingan ingatanmu untuk tahu Sang
Pencipta.”
“Apa? Aku makin
tidak mengerti apa yang kau bahas saat ini? Aku lupa apa? Jadi kau sudah mengenalku
dari lama?”
“Tidak, kau yang
mengenalku dari lama. Bahkan, kelahiran pertamamu lebih dulu dariku.”
“Oh yah?” aku
terkejut. Bagaimana mungkin. Padahal seumur hidupku, baru kali ini aku mengenal
Waktu. “Bagaimana mungkin?”
“Apa yang tidak
mungkin bagimu, mungkin bagi Sang Pencipta.”
“Ah, Dia lagi.
sebenarnya Siapa DIA hingga kau begitu tunduk padaNYA?”
“Nona Pelupa,
sungguhkah kau tidak ingat sedikitpun?” tanya Waktu sekali lagi untuk
memastikan. Suara nadanya sangat hati-hati.
“Ya,” jawabku
jujur.
“Baiklah. Nanti aku
akan memberitahumu ketika ada perintah dari-NYA.”
“Oh, kapan itu?
Aku sudah tidak sabar.” Suaraku terdengar antusias.
“Nona Tidak
Sabar, kau akan tahu nanti.”
“Nantimu terlalu
lama.”
“Ah, sungguh
tidak sopan kalau kau tidak ingat siapa DIA.”
“Siapa? Katakanlah!”
Aku mulai tidak sabar.
Waktu menatapku,
menimbang untuk memberikan jawaban atau sanggahan kembali. Suasana hening
sejenak. “Baiklah. Aku akan memberitahumu. Selanjutnya, kau harus mencari tahu
sendiri, menemukan kepingan yang hilang, seperti yang aku katakan tadi.”
Aku menunggu
Waktu memberikan jawaban dari pertanyaanku tadi. Ia menghela nafas panjang. “Setelah
ini aku akan bersembunyi darimu, yah walau mungkin muncul beberapa kali. Aku tidak
bisa kau panggil seenaknya, aku tidak bisa kau paksa untuk menjawab lagi, aku
tidak mau kau suruh untuk membuka rahasia. Tapi aku akan datang menghampirimu,
menjawabmu, memberitahumu rahasia kalau memang Bapa-mu yang menyuruhku.”
“Hah? Tunggu-tunggu-tunggu.
Apa kalimat terakhirmu? Maksudmu yang bisa memerintahmu adalah Bapa-ku?” Aku
masih belum memahami sepenuhnya apa yang kami bicarakan.
Waktu mengangguk.
Lalu ia tersenyum ketika menyadari raut wajahku yang sudah berganti paham. “Betul
kau sudah paham?”
Aku mengangguk
mantap.
“Baiklah. Sampai
berjumpa lagi.”
“Hei,” panggilku
sebelum Waktu berjalan menjauh. “Jangan terlalu misterius. Kau tidak sekeren
itu!” seruku. Waktu hanya tersenyum sambil berbalik, berjalan menjauh. Aku tahu,
dia tidak pergi meninggalkanku. Dia hanya mencari tempat bersembunyi sambil
terus mengamatiku. Huh, lihat saja nanti, aku tidak akan kalah darinya.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar