Mungkin
itu disebabkan karena idealisme. Ya, idealismeku.
Aku
ingat bagaimana sewaktu kecil aku diajari kejujuran. Semua nilai moral yang
baik seharusnya memang berangkat dari pengajaran dalam keluarga.
Sewaktu
amplop yang berisi uang duka untuk dikumpulkan esok hari diberikan padaku, aku
lalai sehingga lupa meletakkannya. Alhasil, amplop itu tertukar dengan
kepunyaan saudaraku yang lain. Karena jumlahnya yang berbeda dalam amplop putih
polos yang sama persis, diberikan oleh orangtua kami masing-masing, akhirnya
aku tidak bisa membedakan amplop mana yang milikku.
Mamaku
bertanya padaku, mana yang merupakan amplop milikku? Aku tidak bisa menjawab
dan hanya menunduk. Setelah ditanya ulang, aku menunjuk asal salah satu amplop.
Mamaku bilang, “Kalau memang tidak tahu, lebih baik jawab jujur.” Aku ketakutan
setengah mati karena mamaku sangat galak. Ia tidak segan-segan memarahiku
dengan nada tinggi dan suaranya yang keras. Akhirnya, aku mengakui. Aku tidak
tahu mana amplop yang menjadi milikku. Aku meletakkannya asal dan sepertinya
tertukar. Akhirnya, mamaku merobek amplop itu untuk melihat isinya. Setelah masalah
ini jelas, mama mengambil amplop baru dan meletakkan uang duka untuk aku bawa
besok. Mama tidak memarahi aku setelahnya dan tidak menyuruh aku untuk tidak
berbohong lain kali, tapi itu semua menjadi satu pelajaran kejujuran yang
sangat mendalam bagiku. Yang aku tahu, kejujuran tidak membuat aku dimarahi. Kejujuran
tidak membuat orang marah padaku. Kejujuran akan membawa keuntungan buatku.
Saat
aku duduk di kelas tiga sekolah dasar, teman sekelasku bernama Lukas (pria)
mendekatiku. Ternyata, dia ingin meminta contekan. Alhasil, kami bekerja sama
dalam mengerjakan ujian. Mengapa di sini aku katakan kerja sama? Sebab, ia juga
memberikan jawaban pada soal yang tidak ku ketahui. Pada semester pertama di
kelas itu, nilaiku keluar. Hasilnya? Aku peringkat 5, Lukas peringkat 6. Apakah
menurut kalian itu pencapaian yang bagus? Bagi Lukas iya, bagiku itu kemunduran
terbesarku! Aku tidak pernah berada di luar peringkat tiga besar, dan peringkat
5 adalah hal terburuk yang kurasakan saat itu! Mama sedikit kecewa. Ia mengira
aku terlalu banyak bermain. Aku menyimpan rahasia ini sendiri. Ternyata,
jawaban yang Lukas berikan padaku salah. Aku menyesal, seolah membantu penjahat
naik kelas sementara aku sendiri melambat. Sejak saat itu, aku tidak mau
memberi contekan pada Lukas, atau pada siapa pun. Betapa mahalnya kejujuran!
Kini,
setelah 15 tahun berlalu, sikap kejujuranku berharga 44 dari 100. Miris. Aku baru
tahu, betapa mudahnya kejujuran bisa ditukar dengan kecurangan. Atas nama
persahabatan, rekan kerja, kepentingan bersama, dan sebagainya, kejujuran sudah
dinodai dan disalahartikan. Memang, untuk ujian kali ini, aku kurang belajar
dan hanya terpaku pada satu contoh soal, aku kecewa pada diriku sendiri karena tidak
berusaha dengan sungguh-sungguh, di sisi lainnya aku sedih karena kejujuranku
tidak seberharga itu di mata orang lain.
Lalu
aku teringat, dunia ini sudah diserahkan kepada Iblis, menuju pada
kemusnahannya. Sementara aku hanyalah seorang penumpang yang malang melintang
di sini. Seolah Iblis mengejekku, “Kau tidak suka dengan aturanku? Pergi dari
sini! Tetap bertahan pada kesalehanmu hanya membawamu pada pengucilan dan tidak
mencapai apapun seperti yang dunia standar-kan.”
Aku
hanya tertegun sejenak, kemudian mendekatkan jariku pada papan ketik laptopku untuk
menuangkan semua ungkapan hatiku yang bahkan tidak bisa kucurahkan seluruhnya
walau hanya pada sepasang telinga yang mau mendengarkan ini. Orang lain
menganggap mereka sudah cukup penat dengan masalah mereka masing-masing, jadi
kesimpulannya urusi saja urusan pribadi masing-masing. Miris. Dunia dan segala
isinya yang menuju pada kebinasaan, mengapa dipertahankan dengan sebegitu
hebatnya? Sementara aku, lagi-lagi hanya termenung dan merenung. Mempertahankan
nilai yang terlihat nihil, mempertahankan sikap yang terlihat hampa,
mempertahankan prinsip yang terlihat tak berharga, tapi itu di dunia, tidak di
mata BAPA-ku.
Jadi,
ku niatkan diri untuk memperbaiki waktu belajarku. Kurasa itu yang terbaik
daripada menyalahkan ketidak-adilan, menyalahkan kondisi, menyalahkan orang
lain, apalagi menyahlahkan diriku sendiri. Aku hanya mau berbagi.
Kau tidak pernah rugi karena jujur. Kau rugi
ketika menyimpang dari kejujuran padahal hanya satu langkah lagi kejujuranmu
membawamu pada garis akhir untuk mencapai keuntungan.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar