Kalau
dulu punya rasa yang kaya nano-nano buat ditelaah, supaya bisa dipilah mana yang
buruk dan nggak, mana yang perlu dipertahankan dan mana yang dibuang, sekarang
rasanya, plongg…
Actually, aku nggak bisa cerita secara langsung bukan
karena aku nggak mau, tapi lebih kepada karena aku sendiri nggak tahu apa yang
harus aku ceritakan. Bukan kosong atau hampa, tapi saking banyaknya hal yang terbelit di otakku (kayanya) jadinya terasa lepas semua. Ibarat kata, tanganku yang dua ingin banget memeluk erat sebatang
pohon beringin yang jelas-jelas nggak akan ketemu lengan dengan lengan, tapi aku
masih keukeh, masih usaha,
barangkali saja bisa. And finally, aku
sendiri terluka.
Terus, aku berusaha manjat lagi pohonnya. Nggak peduli sama serat-serat kayu yang pada
akhirnya menyusup masuk lewat kulit-kulit ari dan pori yang terbuka. Bahasanya kesusuban. Perih, sakit, dan mungkin
saja tanpa aku sadari serat kayunya sudah menjalar mengikuti aliran darah dalam tubuhku. Itulah
bahayanya. Aku terus memanjat dan jaraknya sudah cukup tinggi dari tanah dan
tiba-tiba saja aku dipelantingkan ke bawah. Katanya aku curang dan gaya memanjatku menyimpang. Aku berdarah, dan terluka. Bukan luka yang terbuka yang
terasa sakit, tapi luka akibat serat kayu yang menjalar tadi, sudah mengenai
organ vitalku, menyerangku seperti pengkhianat dari dalam. Rasanya perih, sakit
terkhianati oleh perasaan sendiri.
Waktu
mulai menagih bayarannya. Ia menyedot kebahagiaan, dia mengambil orang yang
kusayang, dia meruntuhkan kepercayaan dalam sekejab. Kepercayaan yang kubangun
seumur hidupku. Kalau peribahasanya ‘Karena nila setitik, rusak susu sebelanga’,
begitulah waktu yang singkat telah menjungkir-balikkan hidupku, memporak-porandakannya
tanpa ampun, dan mengobrak-abriknya tanpa seijinku. Dia terlalu arogan, karena
katanya dia tidak memerlukan ijinku. Aku ditinggalkan dengan dagu ternganga
karena aku tidak bisa melawan, lebih tepatnya aku tidak sempat melawan. Si waktu
sudah bersembunyi kembali.
Aku
berjalan, aku hidup, atau aku tidak? Aku tidak tahu karena tiap langkahku jadi
tidak punya arti. Mataku terbuka, aku melihat, bukannya aku tidak mengerti atau
aku tidak mau mengerti. Aku hanya tidak sampai mengerti dimana batas aku untuk
berpijak, melangkah. Aku merasa dicurangi dan aku kehilangan arah. Aku bahkan
tidak tahu harus mulai darimana ketika aku berada di titik nol, aku sebenarnya
berada di persimpangan jalan menuju plus atau minus dan hal ini sungguh sangat
menggelisahkan hatiku. Aku bukan berada diantara hidup dan mati lagi, aku
berada di kebinasaan atau kehidupan. Dua-duanya bersifat kekal. Keduanya memberikan
rasa takut yang sangat.
Tapi
bukankah hidup harus memilih? Aku, tentu saja sudah menentukan pilihan (tentu saja kehidupan), tapi
aku belum menentukan kapan aku mulai melangkah lagi, menata kembali isi hatiku.
Apakah aku bisa mengharapkan sekali lagi pada si waktu? Mungkin aku bisa
membujuknya agar mau berbaikan denganku, sekali lagi. Membantuku, walau memang
ia adalah teman yang licik, tapi aku harus lebih pandai lagi dari dia. Mari bermain
denganku waktu, biar kalau kau kalah, kalahlah sebagai pemenang karena pada
akhirnya aku akan tetap keluar sebagai pemenang. Kau terkejut? Karena disegala
sisiku, sebenarnya Penciptamu berpihak padaku. Kau bilang aku terlalu percaya
diri? Aku hanya mempercayakan diriku pada Penciptamu.
Sudah,
itu saja ceritaku dengan si waktu. Semoga dia tidak kembali mengamuk padaku
karena aku membagikan kisahnya denganku lagi.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar