Banyak orang suka berkomentar ini
dan itu mengenai orang lain.
“Pemimpin apaan, begitu kok nggak
bisa!”
“Ah, managerku gitu, nggak ada
apa-apanya!”
Lantas, pertanyaan saya, kenapa
bukan kamu yang jadi manager kalau kamu lebih baik dari dia?
Apa benar unsur politik?
Atau memang kamu harus akui bahwa
ia memang sebenarnya layak di posisi itu dan bukan kamu? Tapi kamu malu
mengakuinya.
Atau, mengapa hanya ada satu
manager untuk memimpin 100 pekerja, bukan 100 manager memimpin 1 pekerja?
Pasti ada hal yang dilihat oleh
pemilik perusahaan dalam diri manager (ini di perusahaan yang benar) yang kamu
nggak punya dan itulah yang menjadi nilai jual si manager itu. Nggak semua
orang mau lelah-lelah membentuk pola pikir dan kebiasaan hidup yang tepat dan
benar. Rasanya saya sudah hebat dan sempurna!
Semakin saya tahu banyak, semakin
saya tahu bahwa saya belum tahu banyak.
Seandainya saya tahu banyak bahwa
scoop hidup luas dan saya baru hanya memenuhinya seperseratus dari
‘kotak’ pengetahuan itu, saya akan menyadari betapa kecil dan bodohnya saya.
Tapi orang yang sama sekali tidak
mengerti mengenai lingkup di sekitarnya, akan menganggap cukup bahwa dirinya
sudah hebat, sudah tahu banyak, mampu diantara yang lain…padahal kenyataannya
bisa bertolak belakang, bahwa orang tersebut sangat tidak kompeten sebenarnya.
Balik ke pekerja, setiap orang
punya kecenderungan melihat kesalahan orang lain dan itulah yang perlu digembleng
agar hal yang sebenarnya sepele dan benar-benar nggak penting secara dunia,
diabaikan dan dijauhkan dari kehidupan kita sendiri.
Kalau pemilik sudah menentukan
siapa manager tiap divisi, ia pasti memiliki prinsip, dan analisis pribadinya
tentang orang yang akan diangkat jabatannya.
Abraham tidak pernah
mempertanyakan mengapa Tuhan menyuruh ia membunuh anak yang dinantikan dalam
tempo lama, namun Abraham tetap dilakukan. Hosea tidak mempertanyakan keputusan
Tuhan mengenai dirinya harus menikahi perempuan yang tidur dengan banyak
laki-laki. Lot tidak marah kepada Tuhan ketika atas ketidaktaan istrinya
sendiri, menjadi tiang garam.
Setiap ‘penyerangan’ yang
dilakukan, pasti memiliki jawaban dan keputusan. Seperti contoh, Musa
mengatakan ia tak pandai bicara ketika diutus Tuhan di Gunung Muria, tapi Tuhan
mengutus Harun sebagai pemenuhan kebutuhan Musa.
Jadi intinya,
kalau keputusan Tuhan itu mutlak tidak bisa digangu gugat, mengapa masih banyak
yang mempertanyakanNYA?
ADIOS.
Whats the next :D about mule :)
BalasHapus