Langsung ke konten utama

Sembari Print

I’m going mad! Oh yeah! Really!
Ini bukan masalah sibuk atau nggak punya waktu. Serius deh! Ini tentang rasa tanggung jawab yang sering banget orang abaikan! Please deh!
Sehari itu ada 24 jam dan semakin banyak umurnya menurut tahun masehi, semakin sedikit waktu tidur. Oke, fine. Aku nggak maksa untuk nggak tidur. Manusia butuh waktu istirahat. Perlu diingat juga bahwa manusia harus menentukan skala prioritas, mana yang perlu untuk didahulukan, yang mendesak, atau sebagaimana lain hal-nya. Gimana bisa atur waktu kalau pikiran melulu ruwet, atau terlalu menggampangkan sesuatu. Dua hal kontras, tapi keduanya mengganggu.
Aku nggak melihat ini menjadi sisi yang teramat buruk untuk dijalankan. Selama prosesnya memang have fun, lebih penting memang tidak bekerja dibawah tekanan dari pihak terkait, tapi tekanan dan motivasi dari dalam diri sendiri. Oh come on, mengapa begitu complicated? Kalau mau mendapat sesuatu yang berkualitas, tentu harus menerima ganjaran yang setimpal juga. Mesti digenjot dengan segala kejutekan dari pihak terkait, even at least memang mendapat hasil maksimum (belum tentu optimum) dari achievement yang ingin diraih.
Oke, nggak masalah nggak mengerti tulisan ini, tapi kali ini aku lagi nggak ngantuk dan sadar, dengan segala macam usaha pengontrolan emosi dan amarah yang sebenarnya ingin meletup, dan perlu beberapa ‘pengajaran halus’ pada pihak terkait bila seandainya pihak tersebut berada tepat di depan batang hidung. Ugh!
Kadang aku jemu, jenuh, dan muak. Jujur, rasanya aku ingin membanting sesuatu, tapi terlalu frontal. Ini bukan soal sikap sopan atau tidak sopan, bukan soal etika dan segala tata karma yang sia-sia. Itu semua cuma formalitas dan basa-basi belaka yang menjadi bagian naskah drama yang perlu dijalankan, setidaknya sampai saat dimana bom waktu belum meledak untuk pemberontakan terhadap norma-norma dan hukum-hukum dunia yang aneh.
Sembari menunggu mesin printer menjalankan aksinya, akhirnya aku memutuskan untuk menuangkan sebagian kecil dari kejemuan yang berulang kali terjadi. Jujur, sekali lagi, nilai tanggung jawab itu sudah pudar, bahkan mungkin hilang sama sekali. Semoga saja, yang kasat mata ini hanya kotemporer saja, bukan sesuatu nilai riil.
Ya, ya, ya. Keanehan memang kerapkali terjadi, tapi yang berbahaya justru dikala menjelang waktu terakhir. Mungkin waktu dimana tak akan kembali dan tak bisa menjadi lagi seperti yang kita mau. Yang ada nanti adalah sebuah perpisahan yang tak tahu bagaimana akhir kisahnya. Senang atau sedih. Seharusnya para pelaku dan pihak terkait sudah dapat menentukan dan men-setting bagaimana ending story dari masing-masing scene potongan hidup yang berjalan saat ini. Tapi jujur, sekali lagi, aku tidak melihat pihak terkait dapat memutuskannya. Memikirkannya pun mungkin hampir-hampir tak pernah.
Lalu apa sih yang dicari saat ini? Mengingat waktu-waktu yang ada adalah jahat seperti yang sudah pernah aku bilang sebelumnya. Yah, memang sulit ketika ketidakpahaman akan sesuatu yang benar itu tidak ada pada jiwa seseorang. Mintalah pada Tuhan dan bertobatlah. Semoga DIA mengampuni dosamu.
Akhir kata,
ADIOS.


Ps: abaikan saja post ini bila tidak mengerti, tidak perlu dipaksakan untuk dicocokkan pada siapa dan kejadian apa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...