Langsung ke konten utama

Melawan OCD

Sebelum lanjut untuk mengerjakan pekerjaan yang akhir-akhir ini serasa ‘digenggam’ dengan kuat, baiklah aku menulis dulu.
Jadi ceritanya itu, ada yang pernah bahas-bahas OCD.
Bukan OCD program diet Om Deddy yah, tapi ini beneran penyaktit kelainan gitu.
Belum jelas penyebabnya apa, mungkin ada di internet sumber lainnya, tapi karena berhubung belom baca, jadinya aku cuma mau share pengalaman pribadi aja sebelum tidur malam ini.
Jadi aku itu sering yang namanya bangun jam 3 subuh buat melakukan ritual tertentu, salah satunya adalah pipis, dan setelah pipis pasti minum air mineral lagi, atau sebaliknya.
Di otak aku terngiang begini, “Kalau nggak pipis nanti kebelet jadi nggak bisa tidur, nggak baik nahan pipis nanti bisa kencing batu. Habis pipis dehidrasi, nanti tenggorokan sakit, jadi perlu minum.”
Atau sebaliknya, “Perlu minum supaya tenggorokan nggak sakit, habis minum perlu pipis biar nggak kebelet dan kalau nahan pipis bisa sakit.”
Juga sering banget bolak-balik cuci tangan karena merasa tangan kotor, sentuh ini kotor, sentuh itu nggak steril karena merasa dimana-mana tersebar kuman penyebab penyakit. Jadilah kebiasaan cuci tangan dan berusaha menghindari memegang barang-barang kotor, khususnya uang, sangat teramat (sekali lagi) dihindari.
Dan keadaan berkutat di sana terus. Tapi beberapa hari ini sudah berusaha menahan pikiran-pikiran seperti itu. Ditambah ada tugas administrasi dan semisal kepanitiaan di kampus sebagai bendahara yang mewajibkan memegang uang, atau sekedar bayar angkot, yah mau bagaimana lagi. Setidaknya terminimalisir dengan penggunaan kartu saat naik KRL dan Transjakarta saat ini.
Waktu itu pernah nonton di Nat Geo-channel tentang penderita OCD, dan mereka OCD akut parah banget. Kenapa? Karena untuk hal-hal kecil harus tepat sesuai dengan kriteria si penderita OCD. Misalnya, buang sampah harus tepat di tengah tong sampah, kalau nggak menurut mereka, bakal diambil lagi sampahnya, mundur, diulang lagi cara buang sampahnya sampai kelar. Terus keluar rumah harus pakai kaki kiri dulu melangkah keluar pintu, kalau nggak mundur lagi dan ulang dari buka pintu, katanya kalau nggak nanti bisa ketiban sial. Juga kalau ada jarak kecil pemisah antar semen di jalan nggak boleh diinjak, kalau nggak nasib sial bisa mengikuti, kalau terinjak, mundur ke belakang terus baru jalan lagi.
Dan semua itu bisa diminimalisir dengan melawan pikiran-pikiran ganjil tersebut ditambah dukungan dari orang-orang sekitar untuk ingetin bahwa, “Nggak apa-apa melakukan hal yang dilarang bagi (pikiran) mereka itu.”
Dan aku mengamati bahwa pikiran-pikiran aneh tersebut bisa saja datang dari doktrin-doktrin yang pernah diberikan dan ditanamkan sejak dini, juga pengaruh budaya dan adat istiadat nenek moyang.
Well, sebaiknya tidak terhanyut dalam pemikiran tersebut dan yah tidak ada yang bisa dilakukan secara ampuh selain melawan hal tersebut.


 ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...