Nggak peduli seberapa keras kita berusaha untuk
berbuat semaksimal mungkin untuk menyenangkan orang lain atau setidaknya
membuat keberadaan kita tidak merisihkan orang lain sehingga membuat mereka
terganggu atau tidak nyaman means
tidak sampai disebelin, tetap saja ada celah yang terjadi, satu-dua orang yang
bakalan nggak suka. Bahkan TUHAN yang Sempurna aja, masih nggak disukai oleh
manusia yang tidak tahu diri.
Jadi seberapapun besarnya usaha seseorang agar tidak
menyakiti, tidak melukai, tidak menyinggung perasaan orang lain, tetap saja
akan terjadi hal sebaliknya yang tidak diinginkan, seberapapun kita berusaha
untuk menghindari dan mencegah hal itu terjadi.
Ditilik dan direnungkan, apa masalahnya? Apa mungkin
itu berasal dari orang yang bersangkutan? Apa karena ada hal yang si A lakukan
sekali saja salah di mata si B, lantas sepanjang usia si B jadi tidak menyukai
si A? Lantas, pertanyaannya bukan lagi, “Siapa yang salah?” melainkan, “Di mana
bagian yang harus dibenarkan dan bagaimana cara membenarkan yang tidak benar
tersebut?”
Kedewasaan itu menjadi suatu tanda tanya pada orang
dewasa yang seringkali menggunakan otak mereka tanpa memikirkan perasaan orang
lain, tanpa punya hati. Lantas, apakah hal itu dapat dikatakan dewasa? Orang dewasa
yang kerap-kali menyalahkan anak kecil, orang dewasa yang kerap-kali disalahkan
anak kecil?
Bagaimana menjadi jembatan penghubung? Atau bagaimana
menyeberangi suatu jurang pemisah agar sampai di ujung penantian yang
melelahkan? Apa ini semua hanyalah fatamorgana yang kemudian hilang lenyap
seperti asap?
Jadi kembali ke bagian awal, bagaimana berusaha
untuk berhenti berusaha menyenangkan orang yang tidak menyenangkan?
Komentar
Posting Komentar