Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

Hubungan Rajawali dengan Energi Mekanik

Saya pernah membaca sebuah buku yang judulnya “Kreatif sampai Mati”. Simple, cover -nya sederhana, tapi begitu melihat bagian dalamnya, menarik. Bukan sekedar novel yang isinya tulisan semua, bukan juga seperti komik-komik anime , tapi perpaduan keduanya membuat saya membacanya sampai habis. Ada dalam satu bab membahas mengenai lambang Transjakarta yang berupa elang bondol membawa tiga biji salak. Dikritik habis-habisan disana dengan lucunya tapi bukan sekedar itu, penulis memberi solusi lain mengenai lambang Transjakarta yang membosankan menjadi lebih menarik dan sedap dipandang sejauh mata memandang adanya bus Tranjakarta itu melaju, elang bondol kekar mengangkat biji salak seperti super hero, mungkin mengartikan bus yang kokoh dan dapat mengangkut penumpang kemudian mengantarkannya secepat elang terbang sampai pemberhentian berikutnya. Bicara soal burung, baru saja hari ini saya diajak menemukan sebuah sajak yang bagus seputar burung. Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan

DEMONSTRASI=BEMO+TERASI

Bicara soal demonstrasi, negara Indonesia menjadi sorotan media baik dalam skala nasional maupun internasional. Bukan berarti para demonstran di Indonesia hebat tapi karena seringkali setiap demonstrasi, akan diakhiri dengan aksi anarkis dan kericuhan, membuat jalanan macet dan menjadi sebuah teror bagi masyarakat sekitar yang kebetulan melalui lokasi demonstrasi. Bukan berarti negara lain bebas dari aksi anarkis demonstrasi di negaranya, bahkan saling pukul dan saling tikam tak segan-segan untuk dilakukan. Namun, lagi-lagi Indonesia seolah menjadi kambing hitam, menjadi olok-olok dan tontonan komedi bagi dunia. Akhirnya, demonstrasi di Indonesia tenar, setenar alat transportasi khas di beberapa wilayah Indonesia, bemo, dan seterkenal sambal pedas khas Indonesia yang harum, unik, dan sangat pedas, terasi (konon katanya merupakan sambal terpedas mengalahkan sambal di India dan Meksiko). Apakah para demonstran lantas berbangga dengan ‘Prestasi’ macam ini? Salah seorang kolega me

NOAH

Bicara soal grup band NOAH yang terkenal dan melejit karena suatu kasus itu, saya rasa ini cukup membanggakan. Salah seorang personil yang ‘jatuh’ namun atas dukungan teman-temannya yang tidak risih dengan status vokalisnya sebagai ‘mantan-tersangka’ tidak menyurutkan langkah mereka untuk tetap berkarya di kancah permusikan, malah semakin terkenal dan tetap dapat diterima oleh masyarakat. Saya rasa jumlah fans grup band NOAH ini malah bertambah. Kata NOAH diambil dari nabi Nuh. Sejarah mengenai nabi Nuh ini cukup fenomenal. Bayangkan, Nuh dianggap orang gila karena mendirikan bahtera besar diatas gunung, di mana airnya? Orang-orang yang melihat tindakan Nuh ini tentulah mencemooh. Tapi Nuh tetap mengerjakan apa yang TUHAN-nya katakan. Buat ini, buat itu, lakukan ini, lakukan itu. Dan dia tetap taat dan tak menganggap itu suatu hal yang konyol karena toh ia percaya dan melakukannya juga. Semua itu dipersiapkan Nuh untuk menghadapi air bah yang benar-benar melanda dan menutupi bumi.

Berani berkarya itu, keren!

Kenapa setiap karya yang dianggap sastra banget lalu dianggap sebuah seni itu adalah karya yang menggunakan banyak bahasa berat yang bahkan kadang penulisnya saja tak tahu maknanya apa. Seringkali, pemilihan kata Indonesia yang asing ditelinga orang awam itulah yang dianggap bagus. Pernahkah kita memposisikan diri sebagai pembaca dari kalangan orang awam yang pada umumnya dikelompokan 'bisa membaca saja sudah bersyukur', bagaimana harus menterjemahkan lagi 'segepok' kata-kata sulit. Bukankah lebih asyik ketika tulisan kita dapat dibaca dan DIMENGERTI oleh banyak orang sehingga memberikan suatu manfaat yang berguna bagi mereka yang membaca? Okelah kalau beberapa kesusastraan Indonesia memiliki kualitas tatanan bahasa dan kata-kata tingkat tinggi, tapi tidak melulu itu saja yang menjadi penilaian tentang suatu estetika, suatu keindahan dalam sebuah sastra. Bayangkan, cerita Hansel dan Gratel, Cinderella, Snow White , dan beberapa cerita anak lainnya mi

“Membuat kopi itu sudah membantu, kok.”

Jadi sore itu aku dateng ke tempat bimbel aku pas SMA, yah bimbel kecil-kecilan lah, nggak terlalu mewah dan se-tenar bimbel-bimbel lain tapi dijamin profesional J Karena murid belum dateng les, jadi aku duduk dulu. Sembari menunggu, aku ditugaskan oleh pengajar di sana, sebut saja namanya Prof, untuk membuat dua cangkir kopi. Setelah merebus air, meracik kopi dengan gula, dan menghidangkannya, aku duduk kembali. Melihat kesibukan Prof, aku tergugah untuk membantu mengajar tapi Prof berkata bahwa aku tak bisa mengajar K Karena sedih aku jadi bilang ke Prof, “Nggak ada yang bisa aku kasih dan bantu di PB ini.” PB adalah singkatan dari Padang Belantara, branded bimbel yang merambah ke multiusaha lainnya. Dengan tenang Prof menjawab, “Membuat kopi itu sudah membantu,  kok .” Dan aku terpana. Kenapa? Karena ternyata pekerjaan yang sepele dan sekecil itu dihargai di mata Prof itu. Terharu. Memang nggak banyak yang bisa aku lakukan buat bimbel tempat aku belajar selama satu s

Pelit

Aku tak tahu apakah pelit itu bisa bersifat relatif atau mutlak. Apa karena tidak sering traktir, tidak sering jalan, tidak sering makan di luar, tidak sering shopping di tempat bergengsi, tidak sering nonton bioskop, tidak sering beli barang-barang karena lagi trend atau berdasarkan merk menjadikan seseorang itu di cap pelit? Aku tak tahu bagaimana konsep berpikir orang lain dalam mengolah keuangan mereka. Syukur pada Tuhan karena sebagai anak kos yang dituntut mandiri dimana sistem keuangan aku sendiri yang mengelola, jadi aku juga tahu bagaimana memakai uang, harus mengalokasikan dana untuk apa dulu, apa yang diprioritaskan. Selain itu, bagaimana memenuhi kebutuhan dengan biaya seminimal mungkin, asal terpenuhi saja secara layak. Contoh, bisa kan makan masakan di rumah, nggak melulu harus jajan di luar. Toh di luar sana belum tentu sehigienis di rumah, siapa yang dapat jamin? Atau bisa loh beli makan yang kenyang namun bersih, nggak harus yang mahal dan enak-enak. Enak