Langsung ke konten utama

Sejarah Kimia


Ini kisah yang cukup tragis mungkin tapi fenomenal. Nggak ding, itu terlalu lebay. Pokoknya ini suatu kisah yang bikin berdehem-dehem.
Jadi gini, sewaktu baru menjadi seorang murid SMA kelas 1 awal, memang, tidak terlalu kaget dengan adanya pelajaran kimia karena sewaktu SMP dulu pernah ada pendahuluan sedikit mengenai pelajaran kimia dasar tentang apa itu atom, kaidah oktet, dan tabel periodik.
Tapi entah kenapa, pas ulangan kimia pertama itu aku dapet 76, KKM 75, sudah baguskah itu? Tentu saja bagus, syukur-syukur lulus kan? Tapi ternyata sekolah super ini nggak mikirin tentang Yang penting lulus. Ahhhh, kalau cuma sekedar lulus, anda akan kalah saing. Di sini itu kompetisinya ada bagaimana mendapat nilai 100!
Well, dengan nilai 76 itu apa aku bangga? Nope! Itu adalah nilai terendah dan terjelek di kelas yang entah kenapa sangat pintar-pintar itu. Itu kelas A. 10-A. Sepuluh A! Alhasil, beginilah terjadi suatu adegan yan cukup memilukan.
Lo dapet berapa Le? tanya seorang cewek berkerudung.
76, jawabku sambil senyum. Kamu?
86!
Aku masih mesem-mesem senyumnya. Terus dateng lagi anak cowok yang bengal gitu lagaknya terus nanya (maklum, ulangan pertama murid SMA 1).
Lo dapet berapa?
76! kataku mantap. Setidaknya aku yakin nilaiku sudah cukup bagus.
Gue 90 dong!
Oke, aku mulai diem.
Satu orang lagi datang dan menanyakan nilaiku, Dapet berapa lo, gue dapet 99!
Oke, aku langsung ngibrit aja pura-pura nggak tahu.
Yak, selamat. Kimia bagiku sudah seperti musuh yang sudah mempermalukan aku sedemikiannya. Entah mengapa, satu kelas super itu langsung tahu kalau nilai aku paling rendah. 76 itu paling rendah!!!
Semester 1 diawali dengan kimia yang super yah. Lanjut ke semester 2 dimana sekolah dengan sistem SKS bak anak kuliahan ini membuat penjurusan 6 bulan lebih awal dan aku masuk jurusan IPA di semester 2 golongan KIMIA. (Ada dua golongan IPA di sekolah, Kimia dan Fisika, keterangan lebih lanjut- penjelasan panjang)
Setelah itu, ada yang namanya pelatihan OSN dan siapapun boleh ikut. Karena aku diajak oleh seorang teman untuk ikut dan dari keempat pilihan OSN (Biologi, Matematika, Kimia, dan Fisika) aku ikut Kimia untuk menantang diri aku sendiri apakah aku mampu mengalahkan rasa tidak sukaku ini pada Kimia tercintah!
Ternyata, semester 2 tidak ada peningkatan yang cukup significant, aku juga bolong-bolong ikut pelatihannya sampai akhirnya berhenti.
Semester 3 mulai ada perbaikan nilai kimia.
Di semester 4, baru aku mulai fokus dan lebih lagi pada pelajaran kimia lebih dalam dan mulai intens ikut pelatihan OSN kimia ini sampai akhirnya tibalah waktu perlombaan.
Sewaktu pengumuman pemenang untuk maju ke tingkat selanjutnya, dengan suatu keajaiban dan muzijat dari TUHAN, namaku ada! Yey! Senang? Ya! Tapi, tunggu dulu. Baca kisah ini selanjutnya.
Langsunglah terdengar kabar yang kurang enak didengar telinga.
Eh, si Mule masuk babak selanjutnya. Kok bisa yah? Kan si Rorarori (nama disamarkan) lebih pinter dari dia, kok bisa dia ga masuk malah si Mule?
Waduh, langsung down banget pas denger kata-kata itu. Soalnya yang ngomong itu temen sekelas aku, terus dia nggak sadar pas ngomong itu ada aku di belakang mereka. Ngenes banget nggak sih? Biasa aja yah?
Ada 4 calon, satu diantaranya aku. Aku akui 3 orang lainnya memang super banget. 2 cowok dan 1 cewek lainnya. Yang cowok namanya Arvin, dia itu ranking 1 di kelas, 5 besar seangkatan (dari 320 orang lebih!), satu lagi namanya Pras, dia itu sempet ke tingkat nasional pas semester 2 (pas masih 1 SMA, bayangkan, betapa sudah berpengalamannya dia!), satu lagi Fildzah, si cewek jenius walau penampilannya tidak menunjukkan seperti itu tapi dari dalam dirinya tersimpan kepintaran yang tidak biasa.
Sekarang, 3 temen seperjuangan aku itu, Arvin masuk FTTM ITB, itu adalah Fakultas dan Institut impian aku dan aku kalah saing pas SNMPTN Undangan sama dia karena memilih hal yang sama (Hah, iya lah yah), Pras di ITS teknik Kimia, Fildzah di FK UI.
Bayangkan, ketiga temen aku itu di tempat ekspert dan memang mereka cerdas. Well, nggak salahin sih temen yang waktu itu ngomong kaya gitu karena memang aku juga kaget pas namaku ada.
Aku cuma bisa bilang, itu anugrah dari TUHAN. J

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...