Langsung ke konten utama

Standar yang Lebih Tinggi


Standar yang Lebih Tinggi

Ini mengenai standar yang diberikan orang lain kepada kita, dimana ketika orang lain berekspektasi terlalu tinggi mengenai diri kita, hal yang harus kita lakukan adalah…membuat standar yang lebih tinggi lagi dari ekspektasi tersebut.
Pengalaman ini bukan satu-dua kali aku alami, tapi sepanjang sejarah aku hidup, nilai yang harus aku capai bukan lagi di angka rata-rata, tapi di atas rata-rata kebanyakan orang.
Usia muda, fisik yang terbatas, bukan menjadi suatu alasan, sebab segala fasilitas dan dukungan moral maupun riil sudah diberikan, sisanya aku hanya harus berharap sambil berusaha semaksimal mungkin.
Jadi begini, ketika kuliah dulu aku harus mendapat nilai minimal A, aku bukan sekedar mencapai standar itu, aku harus lebih, A+ yang harus aku berikan, karena nilai itu bukan melulu soal angka dan huruf di atas selembar kertas, atau tertuang dalam ijazah dengan predikat cumlaude, bukan itu. Nilai + yang diberikan harus diikuti dengan nilai hidup yang sudah dicapai. Ini penting!
Aku pun melakukan demikian, walau pada ujungnya aku memiliki resiko mendapatkan hasil yang tak sesuai, aku berlatih untuk tidak kecewa. Contohnya, ketika aku percaya pada seseorang padahal orang itu tidak percaya pada dirinya sendiri, aku telah menaruh harapan yang begitu besar untuk dijalani, walau mungkin saja harapan itu belum bisa sepenuhnya dipenuhi oleh orang yang bersangkutan. Setidaknya orang itu harus tahu bahwa di luar dari dirinya, orang bisa melihat potensi yang terpendam, dukungan yang tiada henti, supaya orang tersebut bangkit dan keluar dari zona nyaman yang tidak memberikan pertumbuhan apa-apa pada dirinya.
Bukan hal mudah untuk memahami, bukan hanya sekedar tahu mengenai masalah ini, tapi ini perlu tenaga ekstra dan latihan disiplin pada diri sendiri terlebih dahulu, karena semua harus berawal dari diri sendiri, untuk memasang harga tinggi bagi diri sendiri. Ibarat kata, kita mungkin terlihat terlalu muluk, tapi dengan adanya suatu rangsangan, kita akan bergerak secara aktif dan memacu otak lebih kreatif dalam berpikir sehingga menciptakan suatu pola pikir yang lebih tertata. Latihan demi latihan membuat keputusan yang kemudian diambil menjadi lebih efisien dan tepat, cepat dan akurat.
Hal ini aku ketahui dari Yang memberikan dan membentuk suatu individu, bahkan hal terkecil sekalipun seperti debu. Untuk kembali memahami bagaimana Pencipta mencipta.
Akhir kata,
ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...