Langsung ke konten utama

Yang Jahat itu Waktu

Nggak tahu harus mulai darimana tapi memang banyak kisah yang akhirnya mendem di kepala dan jadi buah pikir yang tak jadi terlahir membentuk untaian kata membentuk kisah…
Ahhh, bahasanya berat.
Aku beneran bingung mau mulai dari mana. Aku senang, sekaligus sedih. Seperti biasa, karena ini blog yang bersifat personal, jadi nggak ada salahnya untuk cuap-cuap paw-paw disini sambil nangis Bombay kan… nggak, aku lagi nggak nangis sekarang.
Sedih aja dengan sang waktu yang kejam. Waktu itu pernah ditanya, siapa yang paling kejam?
WAKTU!!!
Kenapa? Karena nggak bisa diputar ulang, entah terlepas dari adanya mesin waktu atau nggak, tapi apa yang terjadi yah sudah begitulah adanya. Tapi beneran deh, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Jadi ceritanya kemarin itu pulang malam, memang karena miss communication sama beberapa pihak menyebabkan mama yang akhirnya menjemput di halte busway. Terus udah bête parah, tapi langsung terobati begitu ketemu dengan salah seorang saudara yang ternyata pulang malam dan dijemput abangnya. Tadinya mau nungguin, secara aku kan lebih tua yah, tapi berhubung mama juga udah nungguin, akhirnya kami berucap salam pisah satu sama lain. Bête teratasi, makin teratasi ketika BBM bertubi-tubi datang untuk klarifikasi lokasiku. Yah, setidaknya aku masih dikhawatirkan. Duh, anak macam apa aku ini membuat orangtua khawatir, yah pokoknya aku senang udah diperhatikan, walau terlambat tapi itu sangat meredakan kegemasan yang muncul lalu reda lagi.
Nah, karena keseringan (Senin-Minggu) pulang malam terus-menerus, mama jengah juga, akhirnya aku ditegur. Sedih sih, karena teguran itu membuat aku merasa makin tak berdaya dengan waktu yang ada.
Jujur banget, kalau aku punya waktu sama papa sekalipun, walaupun singkat banget dan bisa dihitung dalam hitungan jam, aku selalu berusaha membuat itu terlihat, terasa, BERKUALITAS, bukan cuma berkuantitas, dan memang begitu adanya. Sedih banget kalau nggak begitu punya cukup banyak waktu sama orangtua, kan? Baik itu papa, atau daddy, mama, atau ibu. Itu jadi salah satu alasan aku hengkang dari kosan dan memilih pulang-pergi walau menguras waktu dan tenaga. Udah banyak waktu yang hilang dengan orang-orang yang aku sayangi ini.
Kalau aku ditanya, mau kekuatan super apa nih, pilihanku akan jatuh pada, ‘Memperbanyak diri’ atau ‘Berada di banyak lokasi berbeda pada waktu  yang bersamaan.’ Walaupun kekuatan baca pikiran, mengendalikan elemen-elemen bumi, atau hal lainnya cukup menarik, tapi yang aku bilang sebelumnya itu lebih berguna untuk kondisiku saat ini. Emang sih, aku nggak ‘berguna’ sampai gimana banget, yah tapi itu, di waktu yang sama bisa nggak digunakan untuk kedua belah pihak yang sama-sama punya pengaruh dalam perjalanan hidup ini?
Haha…
Yah, sekian aja apa yang mau di share hari ini.

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...