Aku mencapai titik jenuh dan
kebosanan, bosan pada mainan yang bahkan belum aku eksplorasi lebih lanjut. Bosan
karena sebelum puas bermain aku sudah diwanti-wanti dengan kalimat, “Jangan
main-main lagi.”
Bosan karena melihat mainanku harus
terdiam lebih dulu dibandingkan aku, karena dia terdiam lama setelah aku ajak
bicara.
Bosan karena tidak adanya tanggapan
ketika aku ajak berkomunikasi. Bosan dengan semua yang dikatakan mainanku
berulang kali, hal yang sama namun tak bisa melakukan hal yang senada dengan
ucapannya.
Bosan karena mainanku hanya monoton
semata yang harus diperhatikan tanpa memperhatikan kembali, bosan karena
tatapan mata hanya melulu aku yang menatap dirinya.
Bosan karena setiap nafasnya hanya
ketidaktahuan belaka bahwa mainanku itu disangka hidup padahal mati. Bosan karena
ia tak menyadari waktunya yang singkat lalu habis binasa.
Bosan karena keangkuhan mainanku yang
tidak tahu diri. Bosan karena ia tak tahu menikmati bagaimana dimainkan. Bosan karena
ia lupa bahwa ia bisa terdepak begitu saja dan tergantikan yang baru.
Bosan karena mainanku lupa bahwa
waktu yang kami alami hanya sebentar. Bosan karena ia tak juga kunjung menerima
sinyal perdamaian yang aku kibarkan.
Bosan aku karena lelah. Lelah bermain
dengan mainanku. Mainanku yang bahkan belum aku sentuh. Sentuhan yang mungkin
tak akan terjadi. Terjadinya pun buru-buru. Buru-buru pula kebersamaan kami. Kebersamaan
kami yang singkat. Singkat pula perkenalan kami. Perkenalan kami yang tak tahu
bagaimana caranya dimulai. Dimulai lalu kemudian diakhiri. Diakhiri kisah ini
di sini.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar