dini hari di akhir musim semi itu
tetes-tetes hujan menitikkan
suaranya bersahutan
kepada lelaki muda yang masih
terjaga sendirian
ada sebongkah gelisah tua di
kepalanya yang ingin ia pecahkan
seperti peti-peti es yang terasa
hingga menusuk-nusuk tulang
atau bak skala suhu yang
memanggang erang badan
lalu di meja kerjanya ia tuliskan
kembali sehelai surat cinta itu
:
aku mencintaimu kekasihku
dengan cara yang tak lagi lugu
dalam kelebat bayangmu
yang berlari di tepian waktu
aku memikirkanmu kekasihku
dengan cara yang mungkin tabu
dalam kepingan ilmu
yang terkoyak di buku-buku
aku masih mencintaimu kekasihku
dengan segenggam rindu yang haru
sepanjang waktu mengeja bahasamu
tetes-tetes hujan menitikkan
suaranya bersahutan
kepada lelaki muda yang masih
terjaga sendirian
ada sebongkah gelisah tua di
kepalanya yang ingin ia pecahkan
seperti peti-peti es yang terasa
hingga menusuk-nusuk tulang
atau bak skala suhu yang
memanggang erang badan
lalu di meja kerjanya ia tuliskan
kembali sehelai surat cinta itu
:
aku mencintaimu kekasihku
dengan cara yang tak lagi lugu
dalam kelebat bayangmu
yang berlari di tepian waktu
aku memikirkanmu kekasihku
dengan cara yang mungkin tabu
dalam kepingan ilmu
yang terkoyak di buku-buku
aku masih mencintaimu kekasihku
dengan segenggam rindu yang haru
sepanjang waktu mengeja bahasamu
Clayton, 24/11/2005
Diambil dari Blog "Engkaulah Air, Engkaulah Tanah, Engkaulah Udara... Dan Engkaulah Bumi dan Semesta..."
Komentar
Posting Komentar