Penulis itu nggak bisa bener-bener aku lakukan sebagai pekerjaan tetap. Lihat saja sekarang, angot-angotan. Tergantung mood. Kalau lagi galau, bahasannya galau terus, tapi itu masih mending soalnya masih ada ide untuk diketik dan ditulis. Coba kalau lagi mandek kaya gini. Apa aja yang mau ditulis rasanya nggak berselera, yang jadinya nggak jelas juntrungannya. Apa aja yang terlintas di benak nggak bisa langsung ditulis.
Kalau nonton Doraemon, jadi keinget alat yang ditaruh di kepala dan apa yang dipikiran bisa langsung diapresiasikan ke bentuk tulisan ke monitor, atau kalau misalnya ngomong di mikrofon langsung deh keprint apa yang diucapkan. Mudah, praktis, dan ide segar langsung bisa dikeluarkan tanpa perlu dipendam yang hasilnya malah lupa.
Melihat, menilik, mencermati, dan meneliti tulisan dari masa ke masa, dari penulis senior hingga penulis alay tapi bisa tembus ke media cetak hingga karyanya dipublish ke publik, rasanya saya merasa bukanlah penulis ulung dan tidak dapat dibandingkan dengan siapa-siapa dan saya merasa hanya pemula. Bukan! Kurang dari seorang pemula.
Meninjau kembali tulisan yang saya ketik dan buat, kebanyakan hanyalah berupa pengalaman pribadi yang jatuh-nya malah sekedar curhat massal supaya orang tertarik dan baca. Nyatanya, satu karyapun belum pernah diterima oleh editor majalah dan koran manapun sekalipun sudah saya kirim dan coba berulang kali. Namun sampai saat ini, nihil! Nol besar!
Weleh-weleh, saya merasa malu kalau ada yang baca blog saya atau tulisan saya dimanapun dan bilang itu bagus. Saya masih belum menemukan tulisan saya semenarik itu, padahal saya sendiri yang menulis. Mungkin karena mereka kenal saya dan merasa tidak enak untuk menyatakan sebuah kritik tajam yang mungkin itulah yang dapat melecut saya untuk berpacu lebih keras dalam hal tulis-menulis ini.
Rasanya jengah juga menghadapi pergolakan seni yang kian tak menentu. Seni. Satu kata yang memiliki beribu makna. Tanpa batas. Bebas dan lepas. Indah. Menurut pandangan masing-masing individu tanpa ada yang berhak menyatakan pendapat dia benar dan pendapat dia salah. Sampai saat ini, menurut saya seni adalah sebuah sarana yang menjadi teman pelebur sedih, mengekspresikan rasa senang, dan peredam rasa marah. Seni adalah tempat ke mana saya bisa berlari-lari dengan bebas dalam imajinasi saya sendiri. Seni adalah di mana alam mengambil peranan penting. Pada akhirnya, seni adalah karya yang tak terbantahkan oleh siapapun sebab seni itu sendiri mencerminkan siapa penciptanya.
Entah apa tulisan saya bisa dikategorikan sebagai salah satu aliran seni, tapi terlepas dari itu maksud dari menulis itu apa, itu yang penting. Apakah bermanfaat? Apakah dapat mengungkapkan suatu peristiwa, memaparkan misteri, atau malah menimbulkan konflik?
Kembali lagi mengingat para penulis senior, saya merasa sangat amatir. Entah ejaan dan tanda baca sudah sesuai dengan kaidah EYD yang baik dan benar. Saya merasa seperti setitik debu diantara jutaan galaksi di jagad raya ini. Tidak berarti apa-apa.
Maka dari itu, saya sangat berterimakasih pada pendapat apapun bagi mereka yang pernah membaca baik itu pembaca tetap atau sekedar lalang saja. Saya bersyukur, masih bisa menulis dan meluangkan waktu merangkai kata-kata menjadi kalimat lalu menjadi suatu cerita guna menyampaikan maksud.
Sepertinya, banyak yang menganggap diri seperti itu. Malu mempublikasikan tulisannya. Takut itu jelek. Takut tidak sesuai dengan pasaran. Tapi bagi saya, menulis adalah menuangkan ide sebelum ide itu sendiri keburu membusuk dalam pikiran atau mungkin ide itu berguna bagi orang lain yang merasakan dan sepikiran.
Dengan menulis, tanpa kata-kata terucap dari mulut, kita masih bisa menyampaikan apa yang ada dipikiran. Dengan menulis, saya merasa lega.
Sekian cuap-cuap penulis yang sedang bingung mau menulis apa untuk memenuhi blog ini.
Akhirnya, dari cuap-cuap yang tidak karuan melahirkan sebuah tulisan panjang yang sepertinya tidak akan pernah berakhir kalau tidak saya akhiri di sini.
Komentar
Posting Komentar