Kemarin, aku dan saudara-saudara yang lain pergi ke suatu daerah di utara Jakarta. Langit waktu itu mendung dan mulai meneteskan air, namun hanya sebentar saja sebab tak lama kemudian rintik-rintik hujan berhenti. Lalu salah seorang diantara mereka berbicara padaku.
"Le, tahu nggak kenapa hujannya berhenti?"
"Kenapa?" balasku bertanya.
"Soalnya, hujannya pindah dari langit ke mataku."
Aku terdiam. "Maksudnya, kamu nangis gitu?"
Dia mengangguk.
"Haha, bohong ah." Aku tidak percaya karena dia itu anaknya ceria, heboh, suka ketawa-ketawa, jingkrak sana jingkrak sini, hiperaktif, caper(loh kok jadi jelek-jelek-nya).
"Ah, tuh kan, emang nggak ada yang percaya sih kalau aku nangis."
"Emang."
"Ada yang salah kalau gitu?" katanya horor.
"Apaan sih?" aku heran.
"Aku kurang ekspresionis. Harusnya ngomongnya sambil...'Hiks, aku...kemarin, hiks...nangis-di-jalan...huaaaaa."
"Lebay dasar!" aku memutar bola mataku.
"Le, aku kan pernah yah tidur sama temen sekamar, pake kipas. Terus dia denger, pas aku tidur tuh kentut gitu. Katanya masuk angin. Menurutmu gimana?"
"Apanya yang gimana?"
"Kalau kentut itu loh..."
"Yah udah mau gimana, daripada nahan kentut jadi sakit."
"Kalau gitu aku boleh kentut sekarang yah."
*Pret*
Hening.
"Gila yah... Nggak di sini juga kali. Lihat sikon dulu. Buset deh." aku mengibas-ngibas tangan untuk mengusir gas H2S yang beracun itu.
"Lah, kan Mule sendiri yang bilang, daripada sakit," katanya sambil memeletkan lidah.
"Dasar bocah!"
Akhirnya kami malah tertawa bareng. Haha.
Komentar
Posting Komentar