Langsung ke konten utama

Pekik-pekik Meringkik Menggelitik


“HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA!” sorak-sorakan sambutan ‘hangat’ dari kakak tercinta membuat para MABA (mahasiswa baru) mem-beo begitu saja. Ketek-ketek basah terangkat begitu saja tanpa ada rasa malu, tanpa ada niat untuk berusaha menutupi bekas keringat berwarna gelap di sekitar ketiak. Peluh makin bercucuran di sana-sini. Air liur disembur, menandakan semangat yang membara.
“Kalian ini kuliah di kampus rakyat! Kalian ini mahasiswa dek! Bukan masih siswa! Tugas kitalah mengemban tanggung jawab di masyarakat. Kalau bukan kita siapa lagi?! Ini kampus rakyat, uang rakyat. Jadi untuk rakyat juga! Mari, kita sebagai besi-besi muda menggantikan besi-besi berkarat di DPR sana yang sekarang sedang tertidur! Ayo kita getarkan universitas ini, kita getarkan fakultas ini dengan pekik kita! U*pip* !!!”
Aku ikut-ikutan bersorak, mengangkat tangan berusaha tidak setinggi-tingginya, sadar diri kalau sekitar ketty sudah mulai banjir. Lap sana, lap sini. Keringat terus saja bercucuran. PSAU, PSAF, PSAD, semua serba pekik, semua serba teriak, semua untuk membangkitkan semangat, tentang idealisme kami, tentang nasionalisme, tentang patriotisme. Tapi benarkah?
Maksudku begini. Baiklah, kita akan bisa menggembar-gemborkan aspirasi kita, idealisme kita saat di kampus, demonstrasi dan aksi, menyuarakan pekikan-rintihan-ratapan hati ‘rakyat’. Tapi, apakah setelah kita yang notabane menjadi sarjana tetap bisa mempertahankan idelisme itu? Sungguh-sungguhkah rasa pengabdian kepada masyarakat itu diterapkan? Atau hanya sekedar dibibir saja agar terlihar ‘WOW’?
Aku bertanya-tanya dan terus bertanya-tanya. Apakah para menteri dan oknum-oknum, para pejabat yang adalah sindikat koruptor itu tidak mendapat genjotan seperti ini? Bukankah dulu mereka juga yang ikut demonstrasi pada pergolakan orde baru, saat Presiden Soeharto menjabat? Bukankah mereka yang turut andil juga mengubah orde baru itu menjadi rezim reformasi? Lalu, dimana semangat itu sekarang? Telah pudarkah? Atau selamanya hilang, digantikan dengan mental-mental korupsi?
Bukankah mereka yang menyerukan, “HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA!” ?
Bukankah mereka juga yang menjadi senat, menjadi mentor bagi junior-junior mereka?
Lalu, bagaimana korupsi seperti ini bukan hanya merajalela, tapi sepertinya telah mengakar kuat dalam diri hampir setiap orang, mulai dari office boy sampai manager, dari pihak negri maupun swasta, dari siswa sampai mahasiswa sendiri. Ironis sekali negri ini. Lebih ironis lagi kita, orang-orang yang hanya bisa menulis dibalik layar komputer, yang hanya bisa mengkritik, namun tak ada aksi, yang tak tampil, namun yang aspirasinya tidak didengar, yang omongannya dianggap angin lalu, yang masih duduk menatap layar tv menyaksikan berita lalu mulai mengucapkan sumpah serapah pada pemerintahan dan sistem yang ada karena ketidakadilan yang diterapkan, kemiskinan yang merajalela, sampai akhirnya menuju kesia-sia-an belaka.
Sampai saat ini, belum ada langkah jitu yang tepat mengenai sasaran untuk mencabut akar-akar korupsi itu, di segala bidang, di semua tingkatan, di seluruh tempat di bumi pertiwi ini. Entah, sampai kapan tanah air ini harus meratapi nasib atau bangkit melawan rasa terkekang, rasa ingin bebas dari segala kebusukan dunia. Pada akhirnya, apakah mereka yang salah, mereka yang kalah? Atau yang benar harus mengalah?


Tulisan ini dibuat hanya sekedar pemicu biasa.
ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...