Aku
menemukan diri aku itu terlalu care sama lingkungan di sekeliling aku. Bagus?
Jatohnya
jadi over care, over protective,
cerewet, bawel, aneh, terlalu khawatir, and bla bla bla
Dan lebih
parahnya lagi karena dengan kondisi seperti itu, aku jadi capek sendiri, kecewa
sendiri ketika standar yang aku pasang terlalu tinggi dan tidak ada atau lebih
tepatnya belum ada yang mencapai target tersebut.
Terlalu
baper… bawa perasaan.
Padahal
sudah nggak boleh.
Tadi pagi
aku melihat anak seumuran adik aku, bawa jualan dan sepertinya tinggal sisa.
Aku Cuma
ngebayangin, wah betapa beruntungnya aku, adikku, karena kami untuk biaya hidup
dan sekolah nggak perlu mengeluarkan ekstra tenaga dan waktu. Bagaimana dengan
anak itu? Apakah ia membantu orangtuanya? Untuk apa? Biaya sekolahnya sendiri?
Bagaimana makannya? Di mana rumahnya? Dan serribu macam pertanyaan lain
terlintas hanya karena satu adegan kecil yang aku lihat.
Aku terlalu
repot dengan pikiran dan imajinasiku sendiri.
Mungkin
saja, dia memang malas atau punya kelainan untuk belajar, sehingga putus
sekolah. Mungkin dia diasuh di lingkungan keluarga yang tidak tepat. Bisa jadi
karena pergaulan di lingkungan sekitarnya.
Dan aku
merasa miris. Beryukur. Karena aku masih bisa menikmati nikmat dan karunia dari
Tuhan. Bisa duduk nyaman di dalam kendaraan ber-AC. Bisa jalan dan makan
secukupnya. Mencukupkan diri pada kebutuhan hari itu.
Sudahlah…
Aku kembali
melajukan kendaran bermotor yang aku tumpangi dan melalui hari itu dan coba
mengabaikan ke ironi-san yang ada. Tapi tidak bisa…
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar