Langsung ke konten utama

Jalan Kembali



Lucu nggak sih kalau ada kisah seperti ini?

Kami sudah saling kenal sebelum dunia dijadikan. Kami bercanda bersama dan tertawa dengan hati yang sangat damai. Tak ada duka, tak ada tangisan. Lalu Bapa kami memutuskan untuk menciptakan dunia ini. Dunia yang akan kami tempati bernama Bumi. Masing-masing kami dilahirkan, ditempatkan di Bumi pada waktu yang berbeda dan di lokasi yang berbeda juga.
Kami tak saling kenal lagi satu sama lain di Bumi. Ingat-ingatan kami mengenai tempat asal kami seolah menjadi samar, bahkan terlupakan karena pengaruh arus Bumi. Tempat dimana seolah Bumi merupakan tempat asal kami yang semula. Kami terlena dan kami terpukau. Bahkan, kami lupa diri. Lupa dari mana asal kami dan lupa bagaimana jalan pulang. Lupa siapa Bapa kami.
Suatu hari, Bapa menjelma menjadi manusia, sama seperti wujud kami di Bumi. Ia memiliki misi bahwa penderitaan dan aktivitas yang kami alami di Bumi juga akan Ia rasakan. Hidup dalam segala keberdosaan yang membuat kami lupa segala hal mengenai Rumah Bapa, akan Bapa hapuskan supaya halangan itu hilang dan kami mendapati jalan kembali ke rumah Bapa, yaitu melalui Bapa sendiri.
Bapa pintar menyamar. Tak semudah itu pula kami menemukannya, mengenalnya, dan mempercayainya, pada awalnya… namun, hati tak pernah berbohong. Ia tahu darimana dan kemana kaki kami harus melangkah, kepada siapa kami harus percaya, hati tahu. Ada benang merah tak kasat mata yang sangat tipis, namun tak akan putus, karena hanya Bapa yang punya gunting untuk memutuskannya.
Awalnya, seorang anak Bapa menyadari siapa Bapa kami yang mengambil wujud seorang hamba. Anak Bapa itu juga yang tahu jalan kembali. Ia mendapat pesan dari Bapa untuk mengumpulkan saudara-saudaranya untuk bersama kembali ke Rumah Bapa kelak. Bapa kembali ke Rumah Bapa ketika yang Ia ingin sampaikan sudah Ia sampaikan. Ia kembali menyediakan tempat untuk kami. Tempat-tempat indah bagi kami, anak-anak Bapa. Suatu tanggung jawab bagi angkatan mula-mula untuk memulai misi yang Bapa tugaskan. Satu per satu anak-anak Bapa kembali berkumpul. Namun, ada pula yang akhirnya lebih memilih tinggal di dunia karena begitu senangnya akan keindahan dunia ini. Padahal, anak yang pertama memahami hal ini sudah mengingatkan berkali-kali bahwa apa yang ada di Bumi ini adalah maya, fana, dan tidak asli. Semua yang nyata dan jauh lebih indah dari dunia ini yaitu Rumah Bapa, karena dari sanalah semuanya ini berasal, yang asli.
Hingga akhirnya Bapa sedih, kecewa, dan marah. Ia berjanji pada diri Bapa sendiri bahwa Ia akan menguji setiap anak-anak Bapa, apakah sudah cukup tangguh dan sabar menanti hingga waktu kepulangan masing-masing tiba.
Aku, akhirnya masuk dalam kawanan kecil ini. Aku kembali menemukan saudara-saudariku dan memiliki iman, pengharapan, dan kasih yang sama dengan apa yang Bapa ajarkan pada kami. Satu hal lagi yang aku sadari kini, bahwa memang kami bukan berasal dari dunia dan betapa sukacita-nya kami ketika kami saling bertemu. Aku menemukan saudara-saudariku, dan mereka menemukan aku dalam segala ke-apa-ada-annya kami. Hal yang kami tahu, satu-satunya keindahan di dunia ini bagi kami yaitu ketika kami boleh sama-sama dalam satu kawanan kasih yang tidak sama dengan apa yang Bumi ajarkan, membuktikan kami tidak berasal dari planet kecil ini. Miniature yang Bapa buat untuk mengajari kami berbagai hal, untuk memahami keberadaan Bapa dalam segala Ke-Maha-Agung-an nya.
Hingga saat ini, kisah ini masih berlanjut. Akhir kisah ini pasti, tapi dalam setiap proses kisah perjuangan untuk mencapai Rumah Bapa tidak sama. Bapa membisikkan kata-kata cinta Bapa pada kami dalam individu masing-masing. Ia memang penuh rahasia dalam Ke-Misterius-an Bapa. Itulah yang kami suka.
Kisah berikutnya akan berlanjut di episode selanjutnya…
Akhir episode,
ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...