Hari
ini saya pergi sama mama ke Glodok, seperti biasa kami parkir di gedung
Glodoknya dengan tukang parkir resmi, sayangnya kondisi pelataran parkir sangat
tidak teratur sama sekali. Jadi motor memalang motor sehingga sangat sulit
untuk mengeluarkan motor dari parkiran ketika saya, sebagai salah satu pengguna
jasa parkir, sudah menyelesaikan jam belanja kami dan berniat kembali.
Yang
sangat mengecewakan di sini adalah ketika tukang parkirnya dipanggil dan
ditanya bagaimana supaya motor saya yang terhalang ini bisa dikeluarkan.
Jawaban si mas-mas ini, “Tidak tahu.” Titik. Lalu dia pergi tanpa usaha apapun,
oke, usahanya cuma ngelirik. Rasanya tuh langsung pingin congkel mata abangnya,
patahin kaki tangannya karena nggak guna. Emangnya masih jaman yah gaji buta,
jadi tukang parkir yang nggak tahu gimana atur parkiran dan dengan gampangnya
bilang nggak tahu?!
Profesi
kamu tukang parkir (tanpa merendahkan sedikit pun, justru saya menganggap
profesi itu adalah suatu kerja profesionalitas serendah apapun level dalam
pengkastaan tak disadari yang telah ditetapkan sebagai standar oleh beberapa
kalangan menengah dan elite), tunjukin dong cara kerja kamu. Geser motor yang
menghalangi atau jangan menerima lagi motor kalau kapasitas lahan parkir memang
sudah tak mampu menampung kendaraan lagi.
Sampai
akhirnya datanglah tukang parkir lain yang akhirnya menggeser motor-motor
penghalang dan membantu mengeluarkan motor saya yang terjebak itu. Just as simple like that. Just do it!
Bukan memberi jawaban paling bodoh sedunia sebagai tukang parkir, “Tidak tahu
(bagaimana mengatur motor anda untuk bisa terlepas dari motor-motor lainnya).”
Hal
yang sama juga terjadi pada **** saya laki-laki yang kerjanya marah-marah aja.
Jadi ceritanya kan mau pasang internet ber-wifi, tapi modem wifi nya nggak ada,
dia marah. Terus setelah dibeli modem wifi (oleh saya dan mama) dan masih belum
bisa pengaturannya supaya aktif (oleh saya), dia juga marah. Yang telepon
operator dan mengurus segala pemasangan dan pengaturan ini dari awal juga saya.
Tapi si **** saya ini cuma bisa ngoceh aja jadi cowok, kaya cewek tanpa usaha
apa-apa. Saat pulang dia bilang dia capek makanya marah-marah. Saya jadi
beranglah. Secara hari ini saya juga harus berkeliling kota dengan matahari
menyengat lalu pulang harus nyapu-ngepel rumah.
Sahut
saya, “Kamu baru gitu aja capek, cece yang hari ini uda pergi seharian dan
masih kerja di rumah gimana? Coba kamu bayangkan, pantas nggak kamu ngomong
gitu? Menjijikkan.”
Dan
dia terdiam.
Sebenarnya
saya nggak suka bicara kasar seperti itu kepada **** saya yang manja ini tapi
apa boleh buat. Saya ingin dia jadi laki-laki yang nggak cengeng dan nggak
gampang ngeluh yang nggak boleh kalah sama cewek karena dia laki-laki, sudah
kodratnya laki-laki itu memimpin dan jadi pemimpin. Menulis ini dengan emosi
mungkin bisa sedikit dirasakan oleh pembaca.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar