Dari
namanya sudah pasti membahas makanan. Tunggu dulu. Saya akan membahas hal
lainnya yang menjadi inti sari dari topik yang akan dibahas, tapi sebelumnya
mengenai soto ngawi, soto ini mirip soto pada umumnya, kuahnya bening, ada
kacangnya, kayanya kacang merah kecil, rasanya asin, sambalnya enak. Ditambah
kecap, dimakan ketika hujan dan cuaca dingin, kuahnya panas, sedapppp…
Tapi yang
mau dibahas bukan itu, melainkan kronologis kenapa akhirnya saya seorang
manusia, bersama empat ikan tenggiri ini terdampar di sini. Beginilah kisahnya…
Jadi, saya
mengajak kelima ikan tenggiri ini, yang jantan menolak, sepertinya ia lebih
senang berenang diantara be-buku-an. Sementara yang betina terkecil, juga
menolak.
Akhirnya
sampailah saya dengan ketiga ikan tenggiri ini akan berkunjung ke bakso malang
Margonda. Suasana sejuk ditambah menikmati panasnya kepulan asap kuah bakso,
sungguh menggiurkan, tapi kami harus melewati karang mengantuk (mata kuliah
saat itu). Ternyata, si ikan tenggiri ke-3, mengatakan dia undur diri
dikarenakan mengantuk dan pusing akibat begadang belajar ujian. Sementara ikan
tenggiri 1 mengatakan dia terserah saja karena sudah membawa bekal. Begitu
diinfokan pada ikan tenggiri 2, sepertinya ia mulai BT karena mepet waktu makan
siang malah batal, sementara si ikan tenggiri terkecil berubah pikiran ingin
ikut.
Jadilah
perdebatan yang memusingkan, ikan tenggiri ketiga kemudian memilih ikut makan
bakso malang Margonda. Semua BT, ada tragedy tangis ikan tenggiri terkecil, ada
bentakan pada ikan tenggiri 1 (maaf, saya sangat tidak bermaksud memarahi,
hanya sudah mumet, saya sudah pernah menulis di sini kalau BT jangan
dekat-dekat saya, saya bisa dengan mudah terserang virus BT itu walaupun sampai
saat ini saya masih mengusahakan memvaksinkan diri dari virus BT yang mematikan
itu), dan saya sendiri sebagai manusia di sana, ikut naik temperamen,
melampiaskannya pada ikan curut keriting keruwil, memarahi ikan itu karena
serobot seenaknya, dan memarahi kembali ketika berada di dalam bikun karena
tidak mau geser ke tengah, ditambah saya tubruk ranselnya dengan ransel saya
sekeras-kerasnya, alhasil, saya dilihat oleh banyak pasang mata. Tentu saja,
saya pelototin satu-satu. Nggak sopan melihat orang seperti itu. Sementara,
ikan baronang belang hitam di kiri saya berjenis kelamin jantan, tampak takut
melihat saya, memberi jalan selebar-lebarnya ketika saya turun.
Yak
selamat, saya, sebagai manusia, terguyur rintik hujan bersama keempat ikan
tenggiri ini. Akhirnya setelah raut mukanya benar-benar seperti ikan tenggiri
minta dipanggang, saya memutuskan membuka payung cantik berwarna biru dengan
tombol pembuka otomatis milik saya, menerobos hujan. Saya bimbing keempat ikan
tenggiri ini untuk berani berenang di bawah air hujan. Mereka semua membuka payung
masing-masing, kecuali ikan tenggiri terkecil yang nebeng payung ikan tenggiri
2, kami menerobos palang rel kereta dimana alarmnya masih berbunyi menandakan
kereta akan segera lewat. Saya tidak mengerti mengapa kami menerobos dengan
santai, mungkin karena raut wajah keempat ikan tenggiri ini minta didesak untuk
segera sampai di bakso malang Margonda. Seperti dugaan saya, hari jumat siang
di mana ada uwo2, penjualnya pergi dan kedainya tutup. Makin bingunglah saya
sebab muka keempat ikan tenggiri ini makin kusut, tak ada bibir tertutup, semua
terbuka minta makan. Di samping kedai itu, ada dapur kampus di mana makanannya
menyajikan seperti yang biasa disajikan di kantin asrama. Alhasil, ikan
tenggiri ketiga langsung naik pitam, oh
no! Dia langsung tidak nafsu makan. Kami berdua melihat kesekeliling,
adakah tempat makan lain untuk mengisi perut saya, sebagai manusia, dan keempat
ikan tenggiri yang sepertinya sanggup menyantap ikan hiu sekalipun. Baiklah,
pilihan jatuh pada soto ngawi di seberang jalan. Setelah mendapat informasi
dari ikan tenggiri terkecil bahwa harga terjangkau dengan porsi lumayan banyak
(walau saya agak sangsi awalnya, mulut ikan tenggiri terkecil itu benar-benar
seiprit, definisi banyak kita berbeda), akhirnya diputuskan makan di soto
ngawi, sok elit dikit, dan saya meng-ikan-kan, ikan-ikan tenggiri ini,
menggiring mereka menyebrang jalan lalu duduk di meja pojokan. Semua diam.
Setelah memesan makanan yang untungnya dengan cepat disajikan, kami makan,
tentunya di piring masing-masing, dan untungnya lagi, porsinya cukup banyak
sehingga ikan tenggiri terkecil yang tadinya terancam untuk membayarkan makanan
saya, dihapuskan untuk saat itu.
Nah,
menurut pengertian saya, di atas meja makan, tidak boleh berkelahi, dan
biasanya makanan itu dapat menaikkan mood
kembali, itu sih berlaku buat saya.
(Jadi teringat seorang bapak minta maaf pada saya waktu saya marah, tapi
berhubung dia minta maaf pada saat yang tepat yaitu ketika saya makan dan
ditraktir gratis, saya, tentu saja, tidak marah lagi). Nah, ternyata, keempat
ikan tenggiri ini juga mengalami hal yang sama. Ternyata kehangatan soto dan
pengisian perut membuat pikiran-pikiran mereka jernih kembali seperti kuah
soto, mungkin juga terhapuskan oleh guyuran hujan yang menyejukkan, menyejukkan
hati mereka juga. Akhirnya, canda tawa kembali mengalir, meskipun membuat ikan
tenggiri terkecil dan ikan tenggiri 2 melewatkan quantum class, tapi akhirnya, keempat ikan tenggiri ini dapat
akrab kembali. Begitulah laporan saya, sebagai manusia, bersama keempat ikan
tenggiri betina minus ikan tenggiri jantan.
Jangan
lewatkan kisah lainnya, hanya di BLOG ini.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar