Langsung ke konten utama

Nomaden


Topik kali ini, saya akan menceritakan masa kecil saya yang hidup nomaden. Mulai dari Jakarta-Bekasi-Bogor-Sukabumi-Jakarta-(Depok-Bogor).
Waktu tinggal di Bekasi itu enak sekali. Supermarket berlogo ‘Indomart’ ada di sebelah rumah sakit dan sebelah rumah sakit adalah rumah saya. Waktu itu, tangan mama pernah kebelek golok waktu mau iris ikan gurame. Darahnya banyak, nggak berhenti, jadi langsung dibawa ke rumah sakit dan dijahit. Praktis bukan? Nah, karena dekat Indomart itu (sebelum bersaing dengan Alfamart), setiap sore selalu jajan ke sana. Alhasil, papa selalu ngambek karena anak-anaknya habisin uang terus. Bekasi di sini, juga dekat pasar. Entah mengapa yang saya ingat, dulu itu mama sering banget beli tv gonta-ganti, kipas, kasur, meja tv, dan lain-lain. Mungkin karena toko elektronik dekat dan bisa tukar tambah dengan murah. Di seberang rumah juga ada toko boneka. Karena mau irit listrik, biasa tiap siang kalau panas numpang adem di toko itu, walau nggak beli apa-apa. Akhirnya, pas ulangtahun saya yang ke-8, mama beli juga boneka Pink Rabbit di toko itu, papa beli Fairy Barbie asli yang manik-manik sayap dan bajunya nempel ke mana-mana pas dimainin, sementara cece (sebutan kakak perempuan) membelikan mainan masak-masakan. Padahal jelas-jelas, sumber dana semua pembelian barang itu dari papa. Setiap sore sebelum mandi sore, main pasir di gunungan pasir, atau gunungan batu sprit, atau manjat pohon mangga muda di belakang rumah. Karena pekarangannya luas banget, juga pernah main masak-masakan pakai api beneran di dekat ban mobil. Begitu mama tahu, langsung dimarahi habis-habisan soalnya itu sangat berbahaya. Bahan yang dimasak saat itu adalah buah rambutan yang dibeli mama, jadi kita masak rambutan. Bayangkan, betapa kreatifnya anak jaman dulu, dibanding jaman sekarang yang hanya duduk dan menunduk memandang layar iPad-nya.
Waktu tinggal di Bogor itu sekitar akhir SD-awal SMP kalau nggak salah ingat. Rumah di Bogor enak, ada balkonnya, jadi pas perayaan, bisa BBQ sesukanya, melihat bintang yang bener-bener keren banget, bisa dilihat dengan mata telanjang dan dulu juga sempet beli teropong yang sekarang entah kemana. Dulu, langitnya masih cerah, belum tercemar seperti saat ini. Cuacanya juga adem dan sejuk. Setiap pagi selalu hangat, disambut matahari terbit. Jauh-jauh ke Bromo lihat sunrise? Di balkon rumah saja sudah bisa menyaksikan pemandangan itu, dan sangat luar biasa. Nah, di samping rumah ada sekolah STM yang panjang banget-banget sekolahnya. Siswa di sana pernah ada yang beli obeng di toko buat tawuran, serem deh. Di depan rumah ada warung. Jadi sering nyebrang jalan (walau ramai, tapi anak jaman dulu sepertinya sangat terampil dan cekatan saat menyebrang) sendiri dengan pakai hot pants  dan tank top yang bisa dengan mudah dibeli di FO-FO di Bogor (Factory Outlet). Yang paling saya ingat itu namanya Brasco, Factory Outlet Famous apa gitu. Pokoknya sering deh belanja, juga pernah ke Ramayana-nya di Jambu apa yah gitu namanya. Di Bogor banyak mikrolet, suka nge-tem sembarangan, bikin macet. Selama tinggal di Bogor, belum pernah tuh tamasya ke Kebun Raya Bogor bareng keluarga, paling pernahnya sama wisata sekolah. Nah, restoran yang paling enak itu Saung Kuring, yah mirip-mirip Mang Engking di Depok sih (menurut saya).
Waktu tinggal di Sukabumi, nggak terlalu banyak pengalaman. Ke pasar jauh, ke mana-mana nggak tahu jalan. Lagipula, cuma kurang lebih setahun sebelum akhirnya pindah ke Jakarta lagi.
Dan kinilah, terdampar saya di Depok, sementara masih beberapa kali ke Bogor, dan baru kemarin setelah sepuluh tahun tidak menginjakkan kaki ke Bekasi, sudah sangat terjadi banyak perubahan di rumah saya yang dulu itu hingga tak meninggalkan jejak bahwa dulu ada rumah berpekarangan luas, yang ada hanya ruko-ruko-dan ruko. Sementara rumah sakit sebelah rumah saya yang dulu, makin luas, megah, dan elite.
Nah, hasil dari nomaden ini, mama dan papa jadi deh tuh bisa ngomong bahasa Jawa dan Sunda. Sunda sih yang lebih oke. Sementara saya, tetap fasih berbicara bahasa Indonesia tercinta. Mama tuh yang kayak pabrik bahasa. Hokien, mandarin, khe, thio tjiu, bagan, juga bisa. Sementara saya, tetap hanya bisa mendengar sedikit dan membalas dengan BAHASA INDONESIA. Ugh!
Begitulah kisah nomaden saya kali ini.

ADIOS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...