Aku memang bukan pengingat
yang ulung, seringkali menjadi pelupa. Setiap kali menghadapi batu-batu besar,
perlahan aku harus memalunya menjadi potongan-potongan yang lebih kecil.
Kerikil!
Kadang kerikil-kerikil itu
dibiarkan saja bertebaran di jalan dan aku harus melaluinya. Aku pikir
batu-batu besar itulah yang menjadi masalah yang utama untuk dihadapi. Tidak
salah, tidak juga benar karena ketika batu besar itu menjadi kerikil di jalan
yang harus kulalui, kerikil-kerikil itu mulai melukai kakiku hingga berdarah.
Aku tak menyadari bahwa
masalah yang tampaknya kecil dan ringan seperti kerikil yang terabaikan itu
mampu merobek kulit dan membuatnya terluka. Bahwa seringkali terlupakan,
seperti pori-pori yang terdapat pada lubang gigi dan tulang membuatnya rapuh
dan keropos, bahwa masalah-masalah kecil yang sering terabaikan itulah yang
berbahaya.
Kerikil-kerikil itu
seperti berubah menjadi pisau tajam juga seperti duri dalam daging. Satu kali
melangkah, seribu kian kemudian harus berdiam, dan itu menghambat sekali. Satu
cara untuk melepaskan diri dari kerikil itu adalah mencungkilnya dari dalam
daging, mengeluarkannya agar tidak turut serta mengalir dibawa darah menjelajah
lebih jauh ke dalam tubuh manusia.
Baik masuk dan keluarnya
kerikil, keduanya menimbulkan luka, keduanya mengeluarkan darah, keduanya
memberikan rasa perih hingga rintih yang mengalun mengiringi bibirku yang
berusaha untuk tetap kuat. Setiap kerikil yang berhasil dikeluarkan, masih ada
pula seribu kerikil lainnya yang harus kulalui dan siap kembali melukai setiap
kulit yang bergesekan dengannya, siap untuk menelan darah lebih banyak bagi
mereka yang menyadari, bahwa kerikil-kerikil kecil itu mulai melukai kakiku.
ADIOS
Komentar
Posting Komentar