Langsung ke konten utama

Kerikil-kerikil Kecil


Aku memang bukan pengingat yang ulung, seringkali menjadi pelupa. Setiap kali menghadapi batu-batu besar, perlahan aku harus memalunya menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Kerikil!

Kadang kerikil-kerikil itu dibiarkan saja bertebaran di jalan dan aku harus melaluinya. Aku pikir batu-batu besar itulah yang menjadi masalah yang utama untuk dihadapi. Tidak salah, tidak juga benar karena ketika batu besar itu menjadi kerikil di jalan yang harus kulalui, kerikil-kerikil itu mulai melukai kakiku hingga berdarah.

Aku tak menyadari bahwa masalah yang tampaknya kecil dan ringan seperti kerikil yang terabaikan itu mampu merobek kulit dan membuatnya terluka. Bahwa seringkali terlupakan, seperti pori-pori yang terdapat pada lubang gigi dan tulang membuatnya rapuh dan keropos, bahwa masalah-masalah kecil yang sering terabaikan itulah yang berbahaya.

Kerikil-kerikil itu seperti berubah menjadi pisau tajam juga seperti duri dalam daging. Satu kali melangkah, seribu kian kemudian harus berdiam, dan itu menghambat sekali. Satu cara untuk melepaskan diri dari kerikil itu adalah mencungkilnya dari dalam daging, mengeluarkannya agar tidak turut serta mengalir dibawa darah menjelajah lebih jauh ke dalam tubuh manusia.

Baik masuk dan keluarnya kerikil, keduanya menimbulkan luka, keduanya mengeluarkan darah, keduanya memberikan rasa perih hingga rintih yang mengalun mengiringi bibirku yang berusaha untuk tetap kuat. Setiap kerikil yang berhasil dikeluarkan, masih ada pula seribu kerikil lainnya yang harus kulalui dan siap kembali melukai setiap kulit yang bergesekan dengannya, siap untuk menelan darah lebih banyak bagi mereka yang menyadari, bahwa kerikil-kerikil kecil itu mulai melukai kakiku.

ADIOS






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Si Pita Hijau, Kuning, dan Merah

Ini pengalaman ospek yang lucu, menggemaskan sekaligus menyebalkan. Pasalnya, aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Ini terjadi pagi hari saat hari pertama OKK, ospek untuk Universitas di Depok berlangsung. Jam 7 pagi kami semua harus berkumpul, tapi aku dan teman-temanku malah berjalan santai berlenggang kangkung bak putri solo yang memakai kebaya rapat jaman dahulu. Jadi pada intinya, kita jalannya santai aja padahal ada kakak senior berjakun yang jagain dan ternyata kita nggak boleh naik bikun(alat transport)ke balairung, tempat berkumpul dan acara berlangsung. Otomatis, kita mesti lari-larian dari teknik melewati ekonomi, melewati jalan diantara FIB dan FISIP. Ngos, ngos. Pemeriksaan. Cek list, pass... Jalan santai lagi sambil menikmati hawa sejuk yang agak menusuk kulit tapi pemandangan hijaunya daun menyegarkan sekali. Kami seperti menganggap ini adalah jalan santai, jalan pagi bagi para manula untuk menghindari osteoporosis. Sementara, senior-senior berjakun sudah ber...

Jadi Anak Kecil

Sebenarnya kepikiran aja tadi di jalan, enak yah kalau jadi anak kecil. Minta ini itu seenaknya, berasa nggak punya beban kalau orang yang diminta bisa aja kelimpungan buat memenuhi permintaan itu. Tinggal ngambek aja kalau ga dikasih, bisa marah-marah seenaknya, paling ditabok dikit. Bisa merengek dan melakukan kesalahan tanpa benar-benar disalahkan. Enak yah kalau jadi anak kecil yang punya orangtua yang sayang dan care gitu, yang protective dan selalu bisa diajak komunikasi. Enak banget, nggak perlu pusing mikirin besok makan apa, laporan udah selesai atau belum, ketemu rival nyebelin, atau mikirin besok mau pakai baju apa dan godain mas-mas mana lagi. (eh) Jadi anak kecil itu gampang-gampang susah, tinggal minta, tinggal nangis buat nyari perhatian. Buktinya aja baby , pipis, pup, laper, apa-apa semua tinggal nangis. Digigit nyamuk, gatel, nangis. Ga bisa tidur, nangis. Sakit, nangis. Nah, giliran orangtua yang rempong, mengartikan semua ketidakjelasan dari anak kecil. Bi...

Mengeluh

Seandainya aku punya kesempatan untuk memilih untuk mengeluh, pasti aku akan mengeluh terus. Sayangnya, aku nggak pernah dikasih pilihan untuk mengeluh, malahan aku digenjot untuk selalu bersyukur, bersyukur, dan bersyukur dalam segala keadaan. Dan itu sangat MENYENANGKAN! Setiap orang selalu ingin mengeluh, boleh mengeluh. Hampir tiap hari aku bisa dengar orang  lain mengeluh. “Aduh capek.” “Aduh ujian tadi nggak bisa L ” “Aduh! Nggak ngerti pelajarannya...”  “Aduh, badan sakit.” Dan segala macam aduh dan aduh dan aduh. Sepertinya mengeluh itu enak. Aku yakin, sekali dua kali pasti ada kata aduh terlontar dari bibirku, tapi untuk full   mencurahkan segala keluh kesah, mulut ini seperti dibekap. “DIAM KAMU!” Waktu itu pernah jalan jauh, tentulah capek dan spontan aku bilang, “Aduh, capek.” Langsung saja pernyataan itu ditanggapi dengan tegas, “Jangan ngeluh!” Pernah aku bilang, “Aduh, nggak ngerti pelajaran ini.” Dan orang akan menatap dengan ta...