Mungkin, karena
pada dasarnya semua manusia itu baik adanya, tapi karena didesak oleh
kebutuhan hidup dan tren nggak penting yang sering dipengaruhi dari media-media
yang ada, karakter seseorang dapat berubah.
Aku ingat bagaimana polosnya dulu, ketika masih
memakai rok abu-abu, menganggap semua orang baik. Kami tertawa bersama,
bercanda, dan bergaul akrab. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, atau golongan
agama tertentu, siapa orang tua-mu, dan sehebat apa kamu di pelajaran MAFIA. Semua
berbaur dengan asyik dan tidak ada pandangan meremehkan. Paling-paling,
kehidupan putih abu-abu diisi dengan gossip kakak kelas yang pacaran dengan
junior, atau ketua OSIS ganteng yang bisa dikecengin,
atau sinetron apa semalam dan berita hot gossip para artis. Sudah. Itu saja. Dan
sampai di sana, kami sudah puas.
Sekarang, setiap orang seperti tidak bisa menjaga
privasinya masing-masing, tidak punya hak untuk menutup mulut orang yang rewel
mengomentari hidup pribadinya. Heran, bingung, dan bengong. Memilih untuk tidak
terjun ke media sosial, akan dikatakan katrok,
kudet, gaptek. Serba salah memang. Lagipula, siapa yang dapat membenarkan
diri? Faktanya adalah kenyataan dapat diputar-balikkan. Semua hanya kalau kamu
memiliki uang dan kekuasaan, sehingga kebenaran dapat disogok dan keadilan
dapat berpihak. Nggak adil kan?
Sudahlah, ini semua dicurahkan karena teringat masa
dulu begitu ringan untuk dijalani, tanpa rasa takut dan khawatir tentang hari
esok, pesaing yang merupakan teman sendiri, belum ada gesekan dan saling sikut,
tapi berubah menjadi lebih buruk ketika umur makin bertambah dan pertemanan
tidak lagi se-homogen itu terutama jika sudah berbeda daerah apalagi pulau.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar