Sumber : https://pixabay.com/en/self-control-willpower-restraint-710228/ |
Awalnya
hanya menahan diri, tapi lama-lama akan terbiasa (seharusnya begitu). Wajar kan kalau aku melindungi hatiku sendiri?
Seperti yang pernah aku bilang, aku terlalu takut untuk jatuh, terlalu takut
untuk sakit.
Orang
bilang, sakit itu bagian dari pembelajaran, pengalaman yang berharga, guru yang
manjur…tapi kalau kejadiannya selalu saja rasa sakit itu yang kurasa, aku ragu.
Luka lama bahkan belum mengering atau bekas luka yang lalu masih terlihat, tapi
ditimpal lagi di tempat yang sama. Aku takut, luka itu makin melebar dan
bernanah, makin sakit.
Pada
akhirnya, apakah aku harus menyama-ratakan semua perasaan kepada setiap orang? Tidak
ada yang lebih dan kurang. Semua akan terasa lebih mudah kalau merasa biasa kan? Memati-rasakan perasaan?!
Aku
bertanya, apa itu cinta? Apakah masih ada cinta di kehidupan ini? Bagaimana kehidupan
setelah pernikahan?
Ada
yang pernah bilang padaku, rasanya bukan lagi seperti cinta masa muda yang
menggebu. Ketika ia bangun, yang ia mau ada istrinya di sampingnya, sebab kalau
tidak, ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Yang ada hanya rasa saling
memiliki dan membutuhkan. Lantas, apakah itu bisa disebut cinta?
Lagi,
aku bertanya. Perempuan sebagai kaum yang lemah, bisa apa? Kami dituntut diam. Kata
laki-laki, itu bentuk penghargaan kami pada mereka. Lalu ketika aku bungkam,
maka kesunyian yang ada dan aku merasa sendiri. Tidak enak rasanya dilingkupi
rasa kesepian. Tidak pernah enak sendiri. Bukankah berdua lebih baik karena
satu sama lain bisa saling menolong, menghangatkan, dan mengingatkan?
Ah,
sudahlah. Cuap-cuapku di pagi hari ini yang bahkan tak bisa kunikmati lagi
hangatnya mentari, yang ada hanya panas menyengat. Tidak ada lagi kenyamanan
yang kurasa.
ADIOS.
Hi Cynthia, kamu masih single apa sudah punya pacar?
BalasHapus