Sudah
hampir 3 bulan nggak nulis, rasanya kangen banget.
Maklum,
kemarin sempat shocking event karena
terancam nilai Termodinamika Lanjut berakhir dengan nilai E, jadi perhatian
seluruhnya tersita dan tercurah pada belajar dan belajar, kitab kehidupan bagi
per-termodinamika-an setebal 840 halaman dengan 16 bab, tapi ujiannya 14 bab. Semua
itu harus dipelajari lebih detail (dalam kesempatan kedua untuk mengulang dan
memperbaiki kesalahan yang terjadi) dalam kurun waktu 2 minggu sejak pengumuman
mengenai kesempatan itu dibuka. Bisa dibayangkan betapa sadisnya, berkeringat
dingin dan bersimbah air mata, ini beneran, nggak berlebihan. Karena aku salah
satu peserta beasiswa, ada minimal IP yang harus aku capai kalau nggak mau
mendapat surat peringatan yang berakibat aliran dana beasiswa berhenti. Nggak bisa
dibayangkan karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hiks banget.
Ditambah
lagi permasalahan sosial yang melibatkan emosi. Nah, ini aku baru mau start up semangat buat cerita.
Jadi
ceritanya, aku punya dua orang teman. Satu cewek, satu cowok. Sebut Male untuk
cowok dan Female untuk cewek yah.
Male
ini kebetulan teman seperjuangan sebagai peserta penerima beasiswa ini. Kebetulan
dia mengalami hal yang sama dengan aku yang mengakibatkan kami sudah layak dan
sepantasnya berjuang lebih keras karena bagaimana pun juga ini kan menggunakan
uang negara. Sementara Female menggunakan uang pribadi.
Aku
sadar, aku mungkin dimata mereka menjadi seseorang yang memiliki tingkat
kepanikan berlebih. Jujur, ini pengalaman pertamaku terancam karena nilai. Aku nggak
peduli, orang lain bisa santai karena mereka sudah berkali-kali mengalaminya. Satu
komentar Female yang membuat aku terperanjat (ini disampaikan Male ke aku)
adalah, “Kenapa si Mule takut dan panik banget sih karena nilai doang?!”
Dan
aku cengo. Girls, ini bukan DOANG! Please! Karena dia dengan mudah bisa
mengulang dari dana yang ia punya sendiri (lebih tepatnya suaminya), dan aku?
Belum
lagi kata-katanya yang mematahkan semangat (yang menurutku dia terlalu gampang
ngucapin itu) dengan bilang, “Aku keluar.” Dan kejadian, dia keluar dari
perkuliahan. Entah apapun alasan yang diberikan ke publik, bagi aku itu yang
terbaik.
Sementara
Male, aku sampai kepikiran, ini orang nggak punya semangat juang banget apa ya?
Aku nggak bisa bersama-sama dengan orang yang bahkan nggak sepenuh hati
memperjuangkan hidupnya sendiri. Kalau dia tidak menghargai dirinya sendiri
lebih dahulu, bagaimana orang lain bisa? Dengan berkeluh kesah dan pasrah? Hidup
tanpa berjuang pingin enaknya aja? Nggak fair
ah! Bagaimana dengan orang yang memang sudah berjuang? Yang mengesampingkan
kesenangannya untuk dinikmati dibelakang? Kok mau disamakan dengan orang yang
hidupnya selalu senang-senang dan mendapat hasil yang sama dengan orang yang
sudah berjuang?!
Disitu
aku marah dan kecewa. Merasa selama ini ada yang aneh tapi aku nggak bisa nemu
apa alasannya. Bahwa dari awal memang nggak seharusnya tapi aku maksa, untuk
mencocokan dua hal yang emang nggak bisa berjalan seimbang. Hah.
Jadi
selama tiga bulan perenungan, apa aku yang salah dengan diriku sendiri atau
orang lain? Jawabannya yah yang salah itu diriku sendiri yang tidak sukar
dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Memang baik untuk supel dan menyesuaikan diri,
tapi harus kuat untuk tidak ikut terbawa arus. Sayangnya, pegangan aku belum
sekuat itu sehingga pernah suatu kali aku terseret arus. Bagiku yang sudah
melangkah di angka enam tahun itu adalah suatu hal yang memalukan. Aku memutuskan
berhenti dan menarik diri, menutup telinga dan mata untuk mendengar pendapat
orang yang seringkali tidak membangun, tidak sesuai dengan apa yang menjadi
prinsip selama ini, dan menutup mulut untuk membalas setiap cemooh yang mungkin
saja akan mampir di telinga kelak, aku mempesiapkan diri.
Sumber: www.google.com |
Adikku
bilang, semakin berumur, akan semakin sulit berteman. (?) bisa jadi. Mungkin
aku lebih pemilih, selektif, merasa siapa yang bisa support aku untuk jalan
lebih cepat, mengembangkan diri lebih lagi, dan tidak menjadi beban, mau
berusaha dan belajar, dan berbagai kriteria yang tidak sepolos saat SMA. Situasi
yang pernah terjadi yang menjadi pengalaman telah mengajariku banyak hal,
termasuk kejadian 3 bulan ini. Nggak enak memang, atmosfirnya berubah menjadi
kekakuan dan basa-basi belaka, tapi mau bagaimana lagi? Kadang, kita hanya
perlu menjaga sedikit perasaan orang lain supaya huru-hara tidak perlu terlalu
besar dipermasalahkan.
ADIOS.
Komentar
Posting Komentar